KOMPLEKSITAS SEJARAH
(Sebuah Pengantar Pendahuluan)
Sejarah pada dasarnya milik kita bersama baik secara
individual maupun secara komunal. Secara individual kita akan memiliki
serangkaian sejarah selama perjalanan hidupnya , ada yang rajin mengingatnya
melalui catatan harian namun lebih banyak hanya sekilas mengingat dalam angan
dan obrolan, atau bahkan membiarkannya berlalu begitu saja, terlepas apakah
selama perjalanan hidupnya selalu beruntung atau selalu kurang beruntung atau
bervariasi di antara keduanya. Secara komunal sejarah dipelajari di tataran
sekolah sebagai salah satu mata pelajaran ilmu sosilal, baik sejarah dunia,
sejarah benua, atau sejarah nasional.
Belum ada muatan lokal yang menampilkan mata pelajaran
sejarah masing-masing daerah. Semisal sejarah Cilacap untuk anak-anak sekolah
di se antero wilayah Kab.Cilacap. Sejarah lokal ini hanya dianggap perlu bagi Pemerintah Daerah dalam rangka
menentukan hari jadi pemerintahan di wilayah itu guna diperingati secara seremonial
belaka.
Kepedulian kita akan sejarah lokal sangatlah minim bahkan
nyaris tidak terdengar gaungnya, masih beruntung bahwa beberapa leluhur mbah
buyut dan orang-orang kasepuhan masih memiliki ingatan-ingatan akan sejarah
daerahnya yang berkaitan dengan silsilah leluhurnya, itupun sudah mulai langka
saat ini. Sungguh ironis memang, musium-musium
yang menyimpan catatan dan benda-benda warisan sejarah saat ini sepi pengunjung
dan koleksinyapun sangat terbatas, bahkan ada keyakinan bahwa seluruh naskah
catatan dan benda bersejarah kita ikut diangkut ke negeri yang pernah menjajah
kita, baik itu Inggris maupun Belanda. Akankah kita belajar sejarah Dayeuhluhur
dan Majenang ke negeri Belanda???
Perhatian kita sebagai individu terhadap sejarah dapat
dikatakan sangat memprihatinkan sepadan dengan keprihatinan kita akan minimnya
kepedulian Pemerintah terlebih Pemerintah Daerah terhadap pelestarian sejarah
daerahnya masing-masing. Bila diibaratkan sebagai kebutuhan hidup yang
diskalaprioritaskan maka sejarah akan menempati urutan yang sangat akhir.
Prioritas utama pada kebutuhan akan pangan,sandang,papan. Prioritas kedua pada
kesehatan dan pendidikan. Prioritas ketiga pada informasi-komunikasi,
transportasi, rekreasi. Prioritas ke empat pada seni budaya dan nilai kebanggaan akan sejarahnya.
Kertarikan kita akan sejarah tidaklah sehebat semangat
kita menggeluti pengetahuan teknologi informasi dan ilmu ekonomi, ibarat barang
ia menjadi sesuatu yang terpinggirkan bahkan oleh personil-personil yang
berlatar belakang sarjana ilmu sejarah sekalipun. Dari beberapa orang yang rela
berkorban menggeluti sejarah lokal
khusunya, mereka mulai terjun rata-rata di atas usia 40 tahun karena ada
“kegalauan” semata atau karena adanya wasiat dari leluhurnya.
Pada awalnya
saat masih anak-anak,
kami sering mendengar ceritera dari sang ayah yang sangat “bangga” akan sejarah lokal
daerah dan leluhurnya, meskipun saat itu kami menanggapinya dengan terkantuk-kantuk dan bergumam “ wah cuma ceritera semu orang-orang dulu
yang tidak berdampak apa-apa pada kesulitan hidup di masa kini, semacam mimpi
yang tak terbeli, kita sebagai anak turunnya mungkin diminta agar tidak rendah
diri, dengarkan saja sebagai rasa hormat sama orangtua, titik” hingga
akhirnya setelah beliau meninggal, baru kami merasa perlu mengorek kembali
catatan-catan beliau, terlambat memang, namun cukup menarik karena sudah tidak
dipengaruhi subyektifitas narasumber.
Menyusun Silsilah dan
sejarah singkat Dayeuhluhur yang menyertainya tidaklah mudah, karena
terbatasnya data maupun validitas sumber data yang diperoleh. Adanya dongeng
tutur tinular kasepuhan dengan berbagai versi, adanya babad yang terbatas di
museum, kesulitan meneliti naskah-naskah
dalam bahasa asing, huruf jawa kuno dan
arab pegon menjadi kendala utama. Bukti dan fakta adanya situs sareyan dan
beberapa peninggalan silsilah dari kasepuhan serta informasi via blog blog di
internet dan Wikipedia memberi siraman darah semangat untuk menelusuri
“penelitian” sederhana ini. Banyak narasumber dan naskah yang saling
bertabrakan satu sama lain dan keterbatasan daya ingat para kasepuhan membuat
data menjadi tidak lengkap dan sulit dicarikan perkiraan waktu.
Dalam kejengahan selama awal
2012, ada sedikit titik terang dimana penyusun dapat berinteraksi dengan
pengarsip sejarah yang sangat sulit ditemui namun sangat kaya informasi, beliau
adalah Ibu Karsiyah,SPt dan Bapak dr.Soedarmadji. Beliau berdua memiliki
beralmari arsip yang sangat berharga. Pengalaman dr.Soedarmadji sangat mumpuni
dan member nasihat bahwa penulisan
sejarah tradisionil sangatlah diperlukan meskipun validitasnya disangsikan,
sudah ada yang mau nulis sudah bagus dan kita wajib berterimakasih, hanya saja
kita memang harus mampu melakukan analisa-analisa guna memperkecil rendahnya
validitas data, dengan tanpa mencela penulis sebelumnya, karena sangat sulit
dicari sejarah yang ditulis secara “jujur”, selalu saja dipengaruhi
“kepentingan”, bahkan dibuat sejarah tertentu (bahkan situs “aspal”) untuk
kepentingan penguasa saat itu.
Dongeng dan babad umumnya merupakan tulisan atas tutur
atau sebaliknya dongeng menjadi tulisan yang dituturkan karena keterbatasn
“melek aksara” sebelum abad XIX, akibatnya tutur banyak variasinya tergantung
dalam menyebarluaskannya yang dipengaruhi oleh daya ucap (lidah,dialek) daya
tangkap (telinga) , daya ingat dan selera
antar generasi turun temurun yang bervariasi pula. Contoh kisah santri
“Undig” yang artinya cerdas, karena dialek dan pendengaran berubah menjadi Santri “Gudig” yang
berkonotasi berpenyakit kudis (sakit kulit yang menjijikan).Naskah ceritera
Dipati Ukur konon ada 8 versi, dan
masing-masing daerah menonjolkan
kedaerahannya dan ketokohan priyayi setempat, karena rajin dan tekun meneliti 8
naskah ini maka Ekadjati berhasil menjadi Guru Besar di Universitas Indonesia.
Kekhilafan tidak hanya terjadi pada naskah
tradisionil tapi juga pada naskah asing, contonya para sarjana Belanda
menganggap binear anakan “danau anakan” padahal sesungguhnya adalah “segara
anakan” berupa laut bukan danau, peta yang “tidak pas” itu dipakai
beratus-ratus tahun. Penulis asing akan sangat kalut atas persamaan nama daerah
dan nama orang sehingga sering salah memberikan interprestasi.
Keterbatasan pengetahuan,
kemampuan dan data sempat membuat kami “galau” untuk melanjutkan penelusuran
ini, hanya karena semangat kedaerahan dan keturunan saja kami berupaya keras
selama tahun 2012 ini menyusunnya.
Menurut hemat kami sejarah
Dayeuhluhur yang sangat terbatas ini tidak mungkin berdiri sendiri, selalu dan
pasti berinteraksi dengan sejarah daerah sekitarnya atau daerah yang lebih luas
dan terkenal, dasar pemikiran ini yang menjembatani kami ingin menyusun lebih
rasional dan integrative. Namun konsekuensinya harus menggali data lebih banyak
lagi.
Sejarah dayeuhluhur tidak
akan lepas dari sejarah Sunda di wilayah baratnya
(Salakanegara-Tarumanegara-Sunda-Galuh-Pajajaran) maupun Sejarah Cirebon di
sisi utaranya, dan sejarah Banyumas di sisi Timur yang akan menyeret sampai ke sejarah
Mataram Hindu, Majapahit, Demak,Pajang,Mataram Islam. Data-data dari kesemuanya
dapat menjadi petunjuk apa dan bagaimana yang terjadi di Dayeuhluhur. Tentunya melelahkan ibarat mengumpulkan 4-5
mobil bekas untuk hanya diambil mur dan baut yang berkesesuaian dari mobil-mobil yang berbeda, dimana mur dan
baut itu pada mobil yang
besangkutan bukanlah sesuatu yang pokok.
Silsilah dan sejarah singkat
Salakanegara-Sunda-Galuh-Pajaran memiliki data lengkap dengan angka tahunnya
dan kejadian yang mengiringinya, demikian juga dengan kerajaan lain di utara
maupun di timur. Hal ini dapat menjadi jembatan untuk meriset sejarah
dayeuhluhur yang banyak disusun atau diceriterakan para sesepuh yang cukup
membingungkan karena tanpa adanya keruntutan periode dan hanya berdasarkan
dongeng tutur tinular. Kisah ceritera sesepuh bukan berarti salah, justru
menjadi bahan awal “data primer” yang sangat berharga, sudah beruntung kita
mendapat data awal dari para sesepuh yang terbatas kemampuan akademiknya
daripada kita terlalu sarat gelar akademik namun tak memahami sama sekali
sejarah tanah kelahiran dan leluhurnya.
Membaca dan
meneliti naskah lama perlu pemahaman tersendiri, semisal untuk memahami
gelar-gelar “priyayi” seperti Ngabehi, Tumenggung, Adipati, Mas, Mas ayu, Mas
ajeng memiliki “arti, fungsi dan derajat” semacam kepangkatan jaman sekarang di
PNS ada juru, pengatur, penata, pembina, esselon I-IV (dirjend, deputi,Kabiro,Kabag,kasi).
Demikian pula untuk kewilayahan dan otonomi wilayah, ada negaragung,
Bumi,Siti,mancanegara,perdikan. Pada Jaman Belanda berbeda lagi, ada Gubernur,
Residen, Regent, Onderregent, Pathen,
afdeling,distrik. Cukup membingungkan pula adanya kesamaan nama dan
gelar, kesamaan nama tempat (seperti Ayah kebumen dan Ayah kesugihan,
Dayeuhluhur Panjalau dan Dayeuhluhur Cilacap, Madura Jatim dan Madura wanareja
yang terkenal sejak 1705)
Ketersesatan
penelusuran akan terjadi jika kita memahami kewilayahan saat ini dipersamakan
dengan masa lalu, memahami status tokoh hanya dari nama, sangat berbeda, jalan
raya belum ada, hutan belantara sangat luas, tapal batas biasanya alamiah
berupa sungai yang masih ada sampai sekarang. Batas wilayah dan batas etnografi
sering berbeda meskipun pernah sama (contoh distrik Madura pernah masuk dalam
Kab.Imbanegara Ciamis, berubah kemudian masuk Cilacap dengan batas sungai
cijolang).Pemahaman bahwa Dayeuhluhur adalah “Kerajaan” akan melemah saat
membaca buku ini, pemahaman bahwa Dayeuhluhur “otonomi sunda” juga akan
mengalami perubahan, ia menjadi “batas” persimpangan sunda-jawa, ia menjadi
“ajang” pergantian kekuasaan Sunda-Jawa. Yang menarik kami temukan di sini
adalah kenyataan perpindahan “ibukota” dan “dualisme” penguasa Dayeuhluhur dan
Majenang. Hal ini sedikit memberi pencerahan mengapa etnis Sunda dan Jawa
sepanjang wilayah Cilacap Barat bagaikan mozaik puzle, Kecamatan Dayeuhluhhur
sunda, Kec.Wanareja sunda-Jawa, Kec.Sidareja Sunda-jawa, Majenang sunda-Jawa, Cimanggu
dan Karangpucung juga sunda-jawa meski lebih ke timur daerahnya, sebaliknya
Pangandaran dan Langen Jawa Barat pun sunda-jawa bahkan lebih banyak jawa nya
(keturunan Prembun Kebumen). Dengan demikian untuk saat ini sangat tepat jika
Dayeuhluhur itu merupakan “Parahiangan di Tanah Jawa”.
Ketersesatan pun
akan kita alami jika tidak mampu memilah antara sejarah dan dongeng legenda,
contoh legenda candi sewu prambanan, dengan kesaktiannya Bandung Bandawasa
putra mahkota kerajaan Pengging yang telah membunuh Prabu Baka memenuhi
permintaan Rara Jonggrang yang tidak mau jadi permaisuri putri boyongan kalah
perang, untuk membuat seribu candi dalam waktu satu malam, karena roro
jonggrang mengerahkan semua perempuan untuk menumbuk padi dan membakar jerami
maka ayam berkokok tanda pagi, padahal masih tengah malam, balabantuan jim
Bandung Bandawasa pergi sedangkan candi yang selesai 999, kurang 1 maka
rorojonggrang disabda menjadi candi yang ke 1000. Bukti arkeologi dan catatan
sejarah menyebutkan bahwa candi sewu di sisi utara kompleks candi Prambanan itu
merupakan candi agama Budha dibangun Raja Mataram Wangsa Syailendra jaman raja
Indra tahun 782-812 dalam waktu bertahun-tahun. Sedangkan Candi Prambanan
adalah candi Hindu yang dibangun lebih lama lagi sejak jaman raja Mataram
Wangsa Sanjaya dengan raja Rakai Pikatan mulai dibangun tahun 850 dan baru selesai disempurnakan
oleh raja Dyah Tulodong tahun 920. Dinasti Kerajaan Mataram Kuno memang ada 2
dinasti, Wangsa Sanjaya (Hindu) dan Wangsa Syailendra (Buddha), rekonsiliasi 2
wangsa ini diakhiri dengan toleransi yang sangat kuat setelah Rakai Pikatan
menikahi Pramodawardhani. Dongeng legenda jaman dulu menjadi alat propaganda
yang efektif bagi rakyat, dogeng rorojonggrang ini mengaburkan perbedaan agama
antara Budha candi sewu dengan Hindu Candi Jonggrang di kompleks candi
Prambanan. Saat ini masyarakat awam mungkin banyak yang belum memahaminya,
Candi Jonggrang lebih dikenal dengan Candi Prambanan menjulang tinggi dan
dikelola oleh PT.TWC sedangkan sisi utaranya dalam satu kompleks adalah candi
sewu yang pendek-pendek jumlahnya banyak dan dikelola BP.3 (Kantor
Kepurbakalan).
Sumber penulisan berasal dari berbagai naskah baik buku, copy naskah, file-file dari
blog-blog internet utamanya wikipedia dari berbagai sumber primer maupun
sekunder, kesemuanya kami cntumkan dalam daftar pustaka. Karena
keterbatasan waktu kami tidak mecantumkan catatan kaki sumber-sumber kalimat
ataupun paragraf, kesemua isi buku ini kami himpun dari isi naskah,buku, file
sebagaimana terdapat dalam daftar pustaka. Kami hanya merangkai sesuai
kebutuhan akan materi sejaran dan silsilah Dayeuhluhur ini. Hasil karya ini
bukan milik kami pribadi tapi milik bersama tanpa ada kepemilikan intelektual
atau apapun sehingga tidak ada niat melakukan “plagiatisme”, mekipun buku ini
susunan menurut versi kami dalam arti versi kami dalam melakukan kompilasi dan
pemilihan data-data serta menyusun ulang berdasarkan penalaran kami yang sangat
terbatas dan tidak memiliki latar belakang ilmu sejarah, diantara sumber-sumber
itu adalah :
1. "sejarah pajajaran" , adipati Manonjaya
(sek,tasikmalaya) : adipati R.Tumenggung Wiradadaha VIII (dalem sepuh)
|
2.
Catatan pensiunan Mantri Guru Majenang : Raden Sastrasukarya
|
3.
Buku "sedjarah Tjakrawedana, RM.Mangkoewinata, pensiunan
Penilik Jawatan Kesehatan ing Sumatera
Kidul (SUMSEL)
|
4. Naskah bhs.prancis: LOUIS CHARLES DAMAIS, L'EPIGRAPHE MUSULMANE
DANS LE SUD EAST ASIATIQUE HAL.589 (ISLAMISASI ASIA TENGGARA)
5. Ulasan Wikipedia
6. “Sejarah Cilacap” pada Blog Ibu Karsiyah
7. Naskah Dipati Ukur, Edi S.Ekadjati
8. Babad Salakanegara, Edi S.Ekadjati
9. Babad Pasir luhur dan Dayeuhluhur, Sugeng Priadi
10. Hari Jadi
Kab.Cilacap, alternatif dari alternatif, dr.Soedarmadji
11. Dan lain-lain
|
Atas dasar
penelusuran yang “komprehensif” dan upaya memilah dongeng dan sejarah maka kami memberanikan diri
menyusun Silsilah dan Ceritera Sejarah
Dayeuhluhur menurut
versi kami, yang mungkin berbeda, mirip atau bertentangan dengan
versi lain. Tidak terbersit sedikitpun maksud untuk menjadi yang paling benar,
semua hanya untuk menambah khasanah dan wawasan semata, Makna kata Ceritera
sejarah kami asumsikan sebagai ceritera yang sudah bukan lagi dongeng namun
belum dapat dianggap sebagai bukti sejarah yang autentik karena keterbatasan
data fakta investigatif maupun arkeologis, semoga
bermanfaat
Atas tersusunnya tulisan dalam buku ini kami haturkan
penghargaan sebesar-besarnya kepada Bapak dr.Soedarmadji kasepuhan yayasan
Dawuhan Purwokerto, Ibu Karsiyah
Purwokerto, Kang Dadang Hermawan Dayeuhluhur dan seluruh saudara
dan leluhur di Dayeuhluhur. Bagai gading yang selalu retak, Buku ini adalah
langkah kecil dari awal langkah yang lebih besar yang bisa diwujudkan anak cucu kelak
di kemudian hari.
Yogyakarta, 16
Desember 2012
Penyusun
Alimin
Suprayitno,SH,Msi