6.
Dayeuhluhur Masa Penjajahan Belanda
(Masa Surakarta)
6.a. Ngabehi Wiradika I
Pada tahun 1755 setelah dewasa dan cukup umur, anak
pertama Wirapraja yaitu Ngabehi Wiradika I menjadi Bupati Dayeuhluhur dan
menikah dengan putri dari Tegal namun tidak berputra alias Ngabehi
Tutup/gaboeg. Tahun 1788 Wiradika I dituduh berbuat makar dan diasingkan ke
Ponorogo. Karena ia tidak berputra maka kedudukan Bupati selanjutnya digantikan
oleh kepononkannya (anak pertama dari Rangga Wirasraya I) dengan gelar Wiradika
II
6.b. Ngabehi Wiradika II
Kyai Ngabehi Wiradika II menjabat Bupati Dayeuhluhur
selama 2 periode pada masa yang berbeda. Untuk periode I tahun 1788 s/d 1799,
karena dianggap kurang cakap maka tahun 1799 beliau diperintahkan magang di
Keraton Surakarta dengan nama Ngabehi Wirasentika, saat magang dinikahkan
dengan putri dari Tumenggung Wiraguna II
(Bupati Penumping Kraton Surakarta). Periode II : 1803-1820 (lihat dualisme
kepemimpinan)
6.c. Raden Ngabehi
DIPAWIKRAMA
Saat
Wiradika II magang, th 1799 diangkat Raden Ngabehi Dipawikrama menjadi Bupati
Dayeuhluhur. Dipawikrama berasal dari Purbalingga (trah Arsantaka) beliau
diangkat jadi Bupati Dayeuhluhur sebagai kompensasi atas pemecatan kakaknya Ngabehi Dipakusuma I sesama trah Arsantaka. Namun
sayang Dipawikrama pun tidak sampai setahun menjabat, karena dituduh membunuh
patihnya (Rangga Wirasraya II), Dipawikrama akhirnya dipecat dari jabatan
Bupati Dayeuhluhur.
6.d. Raden Tumenggung WIRAGUNA
Sebagai
ganti Dipawikrama maka ditunjuk R.Tmg.Wiraguna (orang berbeda tapi nama yang
sama dengan Bpt.Penumping), ia adalah kakak beda ibu dengan Bupati Banyumas
Ngabehi Cakrawedana I. Adik putri dari R.Tmg.Wiraguna menikah dengan Tumenggung
Wiraguna II (Bupati Penumping Kraton Surakarta). Pada masa R.Tmg.Wiraguna
1799-1812 Kabupaten Dayeuhluhur ibukotanya dipindahkan ke Majenang (MENJADI
Kabupaten Majenang) dan Dayeuhluhur menjadi berstatus desa biasa.
6.e. Raden Tumenggung .WIRANAGARA
Sebagai
ganti Dipawikrama yang meninggal 1812 maka ditunjuk anaknya R.Tmg.Wiranagara
sampai meninggalnya tahun 1824, setelah itu Kabupaten Majenang dihapuskan
(lihat dualisme
kepemimpinan)
6.f. Dualisme Kepemimpinan
Setelah masa magang dianggap cukup dan karena
perikatan perkawinana dengan putri Tumenggung Wiragauna II (yang juga menikah
dengan adik Wiraguna Bupati Majenang), maka tahun 1803 Wiradika II
(Wirasentika) kembali diangkat menjadi Bupati
Dayeuhluhur di Majenang sehingga terjadi dualism kepemimpinan dimana
Wiraguna sebagai Bupati Majenang dan Wiradika II sebagai Bupati Dayeuhluhur
dimana keduanya beribukota di Majenang. Wiradika II menjabat sampai tahun 1820
bersama Wiraguna dan Wiranagara. Tahun 1820 Wiradika II meninggal dan
dikebumikan di pesareyan Gunung Purwa Dayeuhluhur.
6.g.
Kyai Ngabehi WIRADIKA III (TUMENGGUNG
PRAWIRANEGARA)
Untuk menggantikan kedudukan ayahnya Wiradika II yang
meninggal, ditunjuklah putranya yang ke 8 yaitu Wiradika III (putra dari putri
Tmg.Wiraguna II) sebagai Bupati Dayeuhluhur dan menjadi 2 pemimpin bersama
Wiranagara sampai tahun 1824. Ketika Wiranaga meninggal th 1824 Kabupaten Majenang
dilebur dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Dayeuhluhur dengan ibukota tetap
di Majenang dengan Bupatinya Wiradika
III (sebagian orang menjadi menganggap sebagai kabupaten Majenang, dimana
Wiradika III dianggap sbg
Bupati Majenang).
Tahun 1825-1830 terjadi Perang Diponegoro, yang
dimulai pada tanggal 20 Juli 1825 bisa dikatakan berakhir pada tanggal 28 Maret
1830 sehari setelah Lebaran, dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro ketika
tertipu dalam perundingan dengan Jendral de Kock di rumah Residen Kedu, Mr.
Valck di Magelang.Perlawanan terakhir Pasukan Diponegoro terdapat di perbatasan
daerah Dayaluhur dan Banyumas yang dipimpin oleh Demang Ajibarang Singadipa.
Walaupun
Kerajaan Surakarta tidak turut melawan, dengan alasan bahwa Pemerintah Belanda
terpaksa terus – menerus melindungi Kerajaan Surakarta dan di kemudian hari
boleh jadi akan demikian pula. Pemerintah Belanda meminta ganti rugi bagi
pengorbanannya. Kerajaan Surakarta merasa berat melepaskan daerah Mancanegara
yang diminta Pemerintah Belanda, akan tetapi tidak mampu menolaknya. Bagelen
hendak ditahan, tetapi komisi menjawab bahwa para bangsawan dan pejabat akan
diberi ganti rugi. Susuhunan Pakubuwono VI merasa kesal, pada tanggal 5 Malam 6
Juni 1830 meninggalkan Istana Surakarta, tanpa memberitahu Residen, dengan
maksud berziarah ke makam nenek moyangnya di Imogiri dan bersemedi, tetapi
kemudian ditangkap Belanda di Gua Mancingan.
Setelah
Susuhunan Pakubuwono VII berkuasa, pada tanggal 22 Juni 1830, Pemerintah Hindia
Belanda mengadakan perjanjian baru dengan Susuhunan Pakubuwono VII .
Mancanegara diserahkan pada Pemerintah Hindia Belanda yang akan membayar
sebesar f 204.000 / tahun sebagai ganti rugi dan Susuhunan akan diminta
pendapat dalam hal pengangkatan para bupati.
Dengan
demikian sejak tanggal 22 Juni 1830 kekuasaan Kerajaan Surakarta
tamat di daerah mancanegara termasuk Dayeuhluhur, Jaman Jawa diganti Jaman
(penjajahan) Belanda. Adapun wilayah Dayaluhur saat itu , batas
barat Karesidenan Cirebon, timur Tayem, utara Tagal dan selatan Sungai
Cikawung, ibukota Majenang. Tanah Dayaluhur merupakan sebagian daerah cikal –
bakal ex Kawedanan Majenang dan Sidareja.
Pada
tanggal 14 Oktober 1830 diusulkan agar Tanah Madura digabungkan dengan
Dayaluhur dengan ibukota Majenang yang jaraknya hanya 12 pal (sekitar 18 km)
dan batas Dayaluhur agar dimekarkan ke arah barat sampai Sungai Cijulang,
sehingga pemasaran komoditas export menemukan jalan keluar melalui sungai –
sungai tersebut dari pada melalui Cirebon yang bergunung – gunung dan berjarak
81 pal (sekitar 121,5 km). Atas usul Mr. Vitalis berdasar kepentingan ekonomis,
maka batas barat Kabupaten Cilacap yang sekarang ini tidak lagi merupakan batas
alamiah etnis seperti diutarakan ahli bahasa Mr. Kern tentang batas Kerajaan
Mataram dan Kompeni berdasar perjanjian tahun 1705 di Kartasura. Oleh Karena
itu sampai sekarang bagian barat Kabupaten Cilacap dihuni oleh penduduk
berbahasa Sunda.Dalam Nota Pembagian Wilayah Baratlaut yang dilaporkan Asisten
Residen Vitalis kemudian, daerah Banyumas Baratlaut dibagi menjadi 2 Afdeling
yaitu Ajibarang dan Dayaluhur. Sebagai ilustrasi cacah jiwa daerah cikal –
bakal Kabupaten Cilacap pada tahun 1830, dikutipkan dari nota tersebut cacah
jiwa Dayaluhur:
Distrik
Kampung Rumah Tangga Penduduk
Majenang
48 739 3795
Madura
53 1324 6620
Pegadingan
31 431 2150
Tayem
102 1452 7260
Jambu
122 1357 6785
Jeruklegi
115 1595 7975
Nusakambangan
14 168 1284
Jumlah
485 7086 35869
Luas
daerah Dayaluhur boleh dikatakan tidak mengalami perubahan selama pergantian
kekuasaan Kerajaan Demak (1478-1546), Pajang (1546-1587), Mataram (1587-1755)
dan Surakarta (1755-1830). Daerah Dayaluhur, sejak tahun 1816 ibukotanya di
Majenang, menurut Kontrolir Vitalis pada tahun 1830, di sebelah barat
berbatasan dengan Karesidenan Cirebon, utara Karesidenan Tegal, timur Tanah
Tayem, selatan Sungai Cikawung yaitu berbatasan dengan Babakan, Panjaran dan
Pegadingan luasnya hanya 144 bau (1 bau = 7.000m2).
Sesuai
dengan surat keputusan Gubernur Jendral Mr. J. G. van den Bosch tanggal 18
Desember 1830 no. 1, maka Mr. P.H. van Lawick van Pabst, Komisaris Tanah –
Tanah Kerajaan yang diambil alih di Semarang pada tanggal 20 April 1830
menyusun batas – batas Kabupaten Dayu – Luhur sebagai berikut :
a.
Batas selatan : dari muara Sungai Serayu mengikuti batas selatan Karesidenan
Banyumas, menelusuri pantai ke arah barat daya melalui desa Cilacap hingga
muara Sungai Citandui.
b.
Batas barat : mengikuti sebagian batas barat Karesidenan Banyumas, dari muara
Sungai Citandui ke hulu sampai muara Sungai Cijulang di selatan, ke hulu sampai
kaki barat Gunung Bongkok.
c.
Batas utara : dari kaki barat Gunung Bongkok melalui puncaknya ke arah Gunung
Suban, ke arah timur menuju Gunung Telaga di Pegunungan Kendeng Utara.
d.
Batas timur : dari Gunung Telaga Boga ke arah selatan melalui Gunung – gunung
Caun, Windu – Negara, Puseran, Kotajaya dan Gunung Badok menuju ke kaki gunung
terakhir pada tepi Sungai Serayu dan ke arah hilir sampai muara Sungai Serayu.
Jadi
pada waktu itu Kabupaten Dayu – Luhur merupakan daerah cikal – bakal Kabupaten
Cilacap sebelah barat Sungai Serayu, sedangkan daerah cikal – bakal sebelah
timur Sungai Serayu (ex Kawedanan Kroya) masih termasuk Kabupaten Banyumas.(Amuttetz, J.E.Z., Kort Verslag der Rivier
Serajoe in de Residentie Banjoemaas en het Terrein Telatjap 1831, Pekalongan,
den 15 April 1831, ANRIJ dan Bijlagen
van het Resolutie, Bundel Besluit den 22 Augustus 1831 no 1, ANRIJ)
Pejabat
– Pejabat Eropa Afdeling Ajibarang:
Kabupaten
Dayu – Luhur bersama Kabupaten Ajibarang merupakan satu Afdeling Ajibarang
dengan ibukota Ajibarang. Oleh karena itu Asisten residen Afdeling Ajibarang
Mr. D. A. Varkevisser bertempat tinggal di Ajibarang. Jabatan onderkolektur
yang dipangku pejabat pribumi termasuk formasi pejabat Eropa, mereka juga
berdomisili di Ajibarang dan dijabat oleh Mas Yudadiwiria.Staf Afdeling terdiri
dari Klerk (pembantu jurutulis) Eropa dan pribumi, seorang Hupupas dan 6 orang
Upas, seorang Hukanjeneman dan 4 orang Kajenemen.
Pejabat
– pejabat pribumi Kabupaten Dayu – Luhur:
Oleh
Komisaris, formasi jabatan kabupaten dinamakan Polisi Umum (Algemeene Policie),
di Distrik dinamakan Polisi Distrik.
Polisi
Umum Dayu – Luhur yang pertama adalah:
a.
Regent : Raden Tumenggung Prawiranegara gaji f 500
b.
Patih : Mas Kramayuda gaji f 75
c.
Kliwon : Mas Reksadikara gaji f 30
d.
Mantri : Mas Kramasudira dan Mas Pertiwa gaji f 20
e.
Jaksa : Jayamenggala gaji f 30
f.
Penghulu : Tayep gaji f 20
g.
Jurutulis regent f 15
h.
6 orang Jaga Karsa gaji f 6
Polisi
Distrik Majenang :
a.
Wedana : Mas Reksadika gaji f 60
b.
Mantri : Mas Singamenggala gaji f 20
c.
Jurutulis gaji f 12
d.
5 orang Jaga Karsa gaji f 6
Polisi
Distrik Dayu - Luhur :
a.
Wedana : Mas Wirakertika gaji f 60
b.
Mantri : Mas Palwawijaya gaji f 20
c.
Jurutulis gaji f 12
d.
6 orang Jaga Karsa gaji f 6
Polisi
Distrik Pegadingan :
a.
Wedana : Mas Mertadika gaji f 60
b.
Mantri : Mas Yuda Anggaranu dan Yudarana
c.
Jurutulis gaji f 12
d.
7 orang Jaga Karsa gaji f 6
Polisi
Distrik Jeruklegi :
a.
Wedana : Mas Dipawangsa gaji f 60
b.
Mantri : Mas Pancasela gaji f 20
c.
Jurutulis gaji f 12
d.
5 orang Jaga Karsa gaji f 6
Sebab
penduduk di Kabupaten Dayu – Luhur jarang, maka gaji pegawai kabupaten tersebut
lebih sedikit daripada gaji pegawai di kebupaten lain.
Sebagai
contoh perbandingan gaji pegawai Polisi Distrik Ayah (Adireja), cikal – bakal
ex Kawedanan Kroya yang pada waktu itu termasuk Kabupaten Banyumas :
a.
Wedana : Mas Ngabehi Kertapraja gaji f 80
b.
Mantri : Mas Candradirana dan Yudasudira gaji f 30
c.
Jurutulis gaji f 15
d.
4 orang Jaga Karsa gaji f 8
Batas
– batas 4 distrik dalam Kabupaten Dayu – Luhur
:
a.
Distrik Dayu – Luhur : Dari puncak Gunung Suban, ke arah barat, baratdaya
melalui Gunung Bongkok sampai Sungai Cijulang, ke hilir sampai bermuara di
Sungai Citandui, ke hilir menuju tepi Rawa Buaya. Dari titik tersebut ke arah
timur laut menuju Pegunungan Sesuru, ke arah utara menuju Sungai Cikawung, ke
hilir menuju Sungai Cigegumi bermuara, ke arah utara menuju Gunung Cendana dan
satu garis lurus menuju Sungai Cijalu, ke hilir menuju Kendeng sebelah utara
(Gunung Sengan), ke arah barat menuju puncak Gunung Suban.
b.
Distrik Majenang : Sebelah barat batas timur Distrik Dayu – Luhur menuju Sungai
Cigegumi bermuara di Sungai Cikawung, ke arah timur dan tenggara menuju Sungai
Cikondang bermuara ke hulu menuju mata air di Kendeng sebelah utara. Dari titik
mata rantai pegunungan tersebut ke arah barat melalui puncak – puncak utara
Gunung-gunung Mruyung, Selokambang dan Geni, terus menuju puncak Gunung Sengan.
c.
Distrik Pegadingan : Sebelah timur, batas sebelah barat Kabupaten Ajibarang dan
Distrik Jeruklegi. Sebelah barat sepanjang Sungai Citandui ke hulu menuju batas
selatan Distrik Dayu – Luhur. Sebelah utara, batas sebelah selatan Distrik
Majenang, menuju Sungai Dikandang menuju mata air yang terletak di Kendeng
sebelah utara, dari situ ke arah timur menuju Gunung Telagaboga. Sebelah
selatan, Segara Anakan dan Laut Selatan.
d.
Distrik Jeruklegi : Dari muara Sungai Serayu menuju kaki Gunung Badak, dari
sana menuju rantai gunung – gunung Kutajaya, lebih jauh dari pegunungan ini
melalui puncak – puncak Gunung Prumpung, Blubuk dan Banjaran, dari kaki gunung
ini menuju Sungai Ciaur, ke hilir sampai bermuara di Segara Anakan, dari tepi
pantai ke arah selatan, lebih jauh ke arah tenggara menuju Desa Celacap, dari
sana ke arah timur laut sepanjang pantai menuju muara Sungai Serayu.Pembentukan
Kabupaten Dayu-Luhur pada Zaman Penjajahan Belanda sebetulnya merupakan
pemekaran yang luar biasa dari Negeri Dayaluhur lama pada Zaman Jawa. Daerah
yang semula hanya seluas 144 bau (1 bau = 7.000m2), sekarang mekar ke segala
penjuru utara, dengan pemerasan damai dari wilayah Hindia Belanda yang lama,
yaitu sebagian Distrik Madura, Kepatihan Imbanegara, Kabupaten Galuh,
Karesidenan Cirebon, dan dari daerah ex Kerajaan Surakarta lainnya, seperti
sebagian Kabupaten Banyumas Kasepuhan dan Kanoman, Pancang (Jeruklegi) dan
Perdikan (Donan).
Disamping
itu, para pejabat baru Kabupaten Dayu-Luhur Afdeling Ajibarang adalah tetap
para pejabat ex Negeri Dayu-Luhur Kerajaan Surakarta, oleh karena itu wajar
apabila mereka secara tidak terduga semula merasa mendapatkan promosi dalam
bidang kewenangan dan pendapatan, karena memang Negeri Dayu-Luhur sudah sejak
abad XV berkuasa di daerah cikal – bakal Kabupaten Cilacap sebelah barat Sungai
Serayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar