Selasa, 13 Agustus 2013

6.DAYEUHLUHUR MASA HINDIA BELANDA


6.    Dayeuhluhur Masa Penjajahan Belanda (Masa Surakarta)

6.a. Ngabehi Wiradika I
Pada tahun 1755 setelah dewasa dan cukup umur, anak pertama Wirapraja yaitu Ngabehi Wiradika I menjadi Bupati Dayeuhluhur dan menikah dengan putri dari Tegal namun tidak berputra alias Ngabehi Tutup/gaboeg. Tahun 1788 Wiradika I dituduh berbuat makar dan diasingkan ke Ponorogo. Karena ia tidak berputra maka kedudukan Bupati selanjutnya digantikan oleh kepononkannya (anak pertama dari Rangga Wirasraya I) dengan gelar Wiradika II
6.b. Ngabehi Wiradika II
Kyai Ngabehi Wiradika II menjabat Bupati Dayeuhluhur selama 2 periode pada masa yang berbeda. Untuk periode I tahun 1788 s/d 1799, karena dianggap kurang cakap maka tahun 1799 beliau diperintahkan magang di Keraton Surakarta dengan nama Ngabehi Wirasentika, saat magang dinikahkan dengan  putri dari Tumenggung Wiraguna II (Bupati Penumping Kraton Surakarta). Periode II : 1803-1820 (lihat dualisme kepemimpinan)
 
6.c. Raden Ngabehi DIPAWIKRAMA

Saat Wiradika II magang, th 1799 diangkat Raden Ngabehi Dipawikrama menjadi Bupati Dayeuhluhur. Dipawikrama berasal dari Purbalingga (trah Arsantaka) beliau diangkat jadi Bupati Dayeuhluhur sebagai kompensasi atas pemecatan kakaknya Ngabehi Dipakusuma I sesama trah Arsantaka. Namun sayang Dipawikrama pun tidak sampai setahun menjabat, karena dituduh membunuh patihnya (Rangga Wirasraya II), Dipawikrama akhirnya dipecat dari jabatan Bupati Dayeuhluhur.

6.d. Raden Tumenggung WIRAGUNA
Sebagai ganti Dipawikrama maka ditunjuk R.Tmg.Wiraguna (orang berbeda tapi nama yang sama dengan Bpt.Penumping), ia adalah kakak beda ibu dengan Bupati Banyumas Ngabehi Cakrawedana I. Adik putri dari R.Tmg.Wiraguna menikah dengan Tumenggung Wiraguna II (Bupati Penumping Kraton Surakarta). Pada masa R.Tmg.Wiraguna 1799-1812 Kabupaten Dayeuhluhur ibukotanya dipindahkan ke Majenang (MENJADI Kabupaten Majenang) dan Dayeuhluhur menjadi berstatus desa biasa.

6.e. Raden Tumenggung  .WIRANAGARA
Sebagai ganti Dipawikrama yang meninggal 1812 maka ditunjuk anaknya R.Tmg.Wiranagara sampai meninggalnya tahun 1824, setelah itu Kabupaten Majenang dihapuskan (lihat dualisme kepemimpinan)

6.f. Dualisme Kepemimpinan
Setelah masa magang dianggap cukup dan karena perikatan perkawinana dengan putri Tumenggung Wiragauna II (yang juga menikah dengan adik Wiraguna Bupati Majenang), maka tahun 1803 Wiradika II (Wirasentika) kembali diangkat menjadi Bupati  Dayeuhluhur di Majenang sehingga terjadi dualism kepemimpinan dimana Wiraguna sebagai Bupati Majenang dan Wiradika II sebagai Bupati Dayeuhluhur dimana keduanya beribukota di Majenang. Wiradika II menjabat sampai tahun 1820 bersama Wiraguna dan Wiranagara. Tahun 1820 Wiradika II meninggal dan dikebumikan di pesareyan Gunung Purwa Dayeuhluhur.

6.g.  Kyai Ngabehi WIRADIKA III (TUMENGGUNG PRAWIRANEGARA)
Untuk menggantikan kedudukan ayahnya Wiradika II yang meninggal, ditunjuklah putranya yang ke 8 yaitu Wiradika III (putra dari putri Tmg.Wiraguna II) sebagai Bupati Dayeuhluhur dan menjadi 2 pemimpin bersama Wiranagara sampai tahun 1824. Ketika Wiranaga meninggal th 1824 Kabupaten Majenang dilebur dalam wilayah pemerintahan Kabupaten Dayeuhluhur dengan ibukota tetap di Majenang dengan Bupatinya     Wiradika III (sebagian orang menjadi menganggap sebagai kabupaten Majenang, dimana Wiradika III dianggap sbg Bupati Majenang).
Tahun 1825-1830 terjadi Perang Diponegoro, yang dimulai pada tanggal 20 Juli 1825 bisa dikatakan berakhir pada tanggal 28 Maret 1830 sehari setelah Lebaran, dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro ketika tertipu dalam perundingan dengan Jendral de Kock di rumah Residen Kedu, Mr. Valck di Magelang.Perlawanan terakhir Pasukan Diponegoro terdapat di perbatasan daerah Dayaluhur dan Banyumas yang dipimpin oleh Demang Ajibarang Singadipa.
Walaupun Kerajaan Surakarta tidak turut melawan, dengan alasan bahwa Pemerintah Belanda terpaksa terus – menerus melindungi Kerajaan Surakarta dan di kemudian hari boleh jadi akan demikian pula. Pemerintah Belanda meminta ganti rugi bagi pengorbanannya. Kerajaan Surakarta merasa berat melepaskan daerah Mancanegara yang diminta Pemerintah Belanda, akan tetapi tidak mampu menolaknya. Bagelen hendak ditahan, tetapi komisi menjawab bahwa para bangsawan dan pejabat akan diberi ganti rugi. Susuhunan Pakubuwono VI merasa kesal, pada tanggal 5 Malam 6 Juni 1830 meninggalkan Istana Surakarta, tanpa memberitahu Residen, dengan maksud berziarah ke makam nenek moyangnya di Imogiri dan bersemedi, tetapi kemudian ditangkap Belanda di Gua Mancingan.
Setelah Susuhunan Pakubuwono VII berkuasa, pada tanggal 22 Juni 1830, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan perjanjian baru dengan Susuhunan Pakubuwono VII . Mancanegara diserahkan pada Pemerintah Hindia Belanda yang akan membayar sebesar f 204.000 / tahun sebagai ganti rugi dan Susuhunan akan diminta pendapat dalam hal pengangkatan para bupati.
Dengan demikian sejak tanggal 22 Juni 1830 kekuasaan Kerajaan Surakarta tamat di daerah mancanegara termasuk Dayeuhluhur, Jaman Jawa diganti Jaman (penjajahan) Belanda. Adapun wilayah Dayaluhur saat itu , batas barat Karesidenan Cirebon, timur Tayem, utara Tagal dan selatan Sungai Cikawung, ibukota Majenang. Tanah Dayaluhur merupakan sebagian daerah cikal – bakal ex Kawedanan Majenang dan Sidareja.
Pada tanggal 14 Oktober 1830 diusulkan agar Tanah Madura digabungkan dengan Dayaluhur dengan ibukota Majenang yang jaraknya hanya 12 pal (sekitar 18 km) dan batas Dayaluhur agar dimekarkan ke arah barat sampai Sungai Cijulang, sehingga pemasaran komoditas export menemukan jalan keluar melalui sungai – sungai tersebut dari pada melalui Cirebon yang bergunung – gunung dan berjarak 81 pal (sekitar 121,5 km). Atas usul Mr. Vitalis berdasar kepentingan ekonomis, maka batas barat Kabupaten Cilacap yang sekarang ini tidak lagi merupakan batas alamiah etnis seperti diutarakan ahli bahasa Mr. Kern tentang batas Kerajaan Mataram dan Kompeni berdasar perjanjian tahun 1705 di Kartasura. Oleh Karena itu sampai sekarang bagian barat Kabupaten Cilacap dihuni oleh penduduk berbahasa Sunda.Dalam Nota Pembagian Wilayah Baratlaut yang dilaporkan Asisten Residen Vitalis kemudian, daerah Banyumas Baratlaut dibagi menjadi 2 Afdeling yaitu Ajibarang dan Dayaluhur. Sebagai ilustrasi cacah jiwa daerah cikal – bakal Kabupaten Cilacap pada tahun 1830, dikutipkan dari nota tersebut cacah jiwa Dayaluhur:
Distrik Kampung Rumah Tangga Penduduk
Majenang 48 739 3795
Madura 53 1324 6620
Pegadingan 31 431 2150
Tayem 102 1452 7260
Jambu 122 1357 6785
Jeruklegi 115 1595 7975
Nusakambangan 14 168 1284
Jumlah 485 7086 35869
Luas daerah Dayaluhur boleh dikatakan tidak mengalami perubahan selama pergantian kekuasaan Kerajaan Demak (1478-1546), Pajang (1546-1587), Mataram (1587-1755) dan Surakarta (1755-1830). Daerah Dayaluhur, sejak tahun 1816 ibukotanya di Majenang, menurut Kontrolir Vitalis pada tahun 1830, di sebelah barat berbatasan dengan Karesidenan Cirebon, utara Karesidenan Tegal, timur Tanah Tayem, selatan Sungai Cikawung yaitu berbatasan dengan Babakan, Panjaran dan Pegadingan luasnya hanya 144 bau (1 bau = 7.000m2).
Sesuai dengan surat keputusan Gubernur Jendral Mr. J. G. van den Bosch tanggal 18 Desember 1830 no. 1, maka Mr. P.H. van Lawick van Pabst, Komisaris Tanah – Tanah Kerajaan yang diambil alih di Semarang pada tanggal 20 April 1830 menyusun batas – batas Kabupaten Dayu – Luhur sebagai berikut :
a. Batas selatan : dari muara Sungai Serayu mengikuti batas selatan Karesidenan Banyumas, menelusuri pantai ke arah barat daya melalui desa Cilacap hingga muara Sungai Citandui.
b. Batas barat : mengikuti sebagian batas barat Karesidenan Banyumas, dari muara Sungai Citandui ke hulu sampai muara Sungai Cijulang di selatan, ke hulu sampai kaki barat Gunung Bongkok.
c. Batas utara : dari kaki barat Gunung Bongkok melalui puncaknya ke arah Gunung Suban, ke arah timur menuju Gunung Telaga di Pegunungan Kendeng Utara.
d. Batas timur : dari Gunung Telaga Boga ke arah selatan melalui Gunung – gunung Caun, Windu – Negara, Puseran, Kotajaya dan Gunung Badok menuju ke kaki gunung terakhir pada tepi Sungai Serayu dan ke arah hilir sampai muara Sungai Serayu.
Jadi pada waktu itu Kabupaten Dayu – Luhur merupakan daerah cikal – bakal Kabupaten Cilacap sebelah barat Sungai Serayu, sedangkan daerah cikal – bakal sebelah timur Sungai Serayu (ex Kawedanan Kroya) masih termasuk Kabupaten Banyumas.(Amuttetz, J.E.Z., Kort Verslag der Rivier Serajoe in de Residentie Banjoemaas en het Terrein Telatjap 1831, Pekalongan, den 15 April 1831, ANRIJ dan  Bijlagen van het Resolutie, Bundel Besluit den 22 Augustus 1831 no 1, ANRIJ)
Pejabat – Pejabat Eropa Afdeling Ajibarang:
Kabupaten Dayu – Luhur bersama Kabupaten Ajibarang merupakan satu Afdeling Ajibarang dengan ibukota Ajibarang. Oleh karena itu Asisten residen Afdeling Ajibarang Mr. D. A. Varkevisser bertempat tinggal di Ajibarang. Jabatan onderkolektur yang dipangku pejabat pribumi termasuk formasi pejabat Eropa, mereka juga berdomisili di Ajibarang dan dijabat oleh Mas Yudadiwiria.Staf Afdeling terdiri dari Klerk (pembantu jurutulis) Eropa dan pribumi, seorang Hupupas dan 6 orang Upas, seorang Hukanjeneman dan 4 orang Kajenemen.
Pejabat – pejabat pribumi Kabupaten Dayu – Luhur:
Oleh Komisaris, formasi jabatan kabupaten dinamakan Polisi Umum (Algemeene Policie), di Distrik dinamakan Polisi Distrik.
Polisi Umum Dayu – Luhur yang pertama adalah:
a. Regent : Raden Tumenggung Prawiranegara gaji f 500
b. Patih : Mas Kramayuda gaji f 75
c. Kliwon : Mas Reksadikara gaji f 30
d. Mantri : Mas Kramasudira dan Mas Pertiwa gaji f 20
e. Jaksa : Jayamenggala gaji f 30
f. Penghulu : Tayep gaji f 20
g. Jurutulis regent f 15
h. 6 orang Jaga Karsa gaji f 6
Polisi Distrik Majenang :
a. Wedana : Mas Reksadika gaji f 60
b. Mantri : Mas Singamenggala gaji f 20
c. Jurutulis gaji f 12
d. 5 orang Jaga Karsa gaji f 6
Polisi Distrik Dayu - Luhur :
a. Wedana : Mas Wirakertika gaji f 60
b. Mantri : Mas Palwawijaya gaji f 20
c. Jurutulis gaji f 12
d. 6 orang Jaga Karsa gaji f 6
Polisi Distrik Pegadingan :
a. Wedana : Mas Mertadika gaji f 60
b. Mantri : Mas Yuda Anggaranu dan Yudarana
c. Jurutulis gaji f 12
d. 7 orang Jaga Karsa gaji f 6
Polisi Distrik Jeruklegi :
a. Wedana : Mas Dipawangsa gaji f 60
b. Mantri : Mas Pancasela gaji f 20
c. Jurutulis gaji f 12
d. 5 orang Jaga Karsa gaji f 6
Sebab penduduk di Kabupaten Dayu – Luhur jarang, maka gaji pegawai kabupaten tersebut lebih sedikit daripada gaji pegawai di kebupaten lain.
Sebagai contoh perbandingan gaji pegawai Polisi Distrik Ayah (Adireja), cikal – bakal ex Kawedanan Kroya yang pada waktu itu termasuk Kabupaten Banyumas :
a. Wedana : Mas Ngabehi Kertapraja gaji f 80
b. Mantri : Mas Candradirana dan Yudasudira gaji f 30
c. Jurutulis gaji f 15
d. 4 orang Jaga Karsa gaji f 8
Batas – batas 4 distrik dalam Kabupaten Dayu – Luhur  :
a. Distrik Dayu – Luhur : Dari puncak Gunung Suban, ke arah barat, baratdaya melalui Gunung Bongkok sampai Sungai Cijulang, ke hilir sampai bermuara di Sungai Citandui, ke hilir menuju tepi Rawa Buaya. Dari titik tersebut ke arah timur laut menuju Pegunungan Sesuru, ke arah utara menuju Sungai Cikawung, ke hilir menuju Sungai Cigegumi bermuara, ke arah utara menuju Gunung Cendana dan satu garis lurus menuju Sungai Cijalu, ke hilir menuju Kendeng sebelah utara (Gunung Sengan), ke arah barat menuju puncak Gunung Suban.
b. Distrik Majenang : Sebelah barat batas timur Distrik Dayu – Luhur menuju Sungai Cigegumi bermuara di Sungai Cikawung, ke arah timur dan tenggara menuju Sungai Cikondang bermuara ke hulu menuju mata air di Kendeng sebelah utara. Dari titik mata rantai pegunungan tersebut ke arah barat melalui puncak – puncak utara Gunung-gunung Mruyung, Selokambang dan Geni, terus menuju puncak Gunung Sengan.
c. Distrik Pegadingan : Sebelah timur, batas sebelah barat Kabupaten Ajibarang dan Distrik Jeruklegi. Sebelah barat sepanjang Sungai Citandui ke hulu menuju batas selatan Distrik Dayu – Luhur. Sebelah utara, batas sebelah selatan Distrik Majenang, menuju Sungai Dikandang menuju mata air yang terletak di Kendeng sebelah utara, dari situ ke arah timur menuju Gunung Telagaboga. Sebelah selatan, Segara Anakan dan Laut Selatan.
d. Distrik Jeruklegi : Dari muara Sungai Serayu menuju kaki Gunung Badak, dari sana menuju rantai gunung – gunung Kutajaya, lebih jauh dari pegunungan ini melalui puncak – puncak Gunung Prumpung, Blubuk dan Banjaran, dari kaki gunung ini menuju Sungai Ciaur, ke hilir sampai bermuara di Segara Anakan, dari tepi pantai ke arah selatan, lebih jauh ke arah tenggara menuju Desa Celacap, dari sana ke arah timur laut sepanjang pantai menuju muara Sungai Serayu.Pembentukan Kabupaten Dayu-Luhur pada Zaman Penjajahan Belanda sebetulnya merupakan pemekaran yang luar biasa dari Negeri Dayaluhur lama pada Zaman Jawa. Daerah yang semula hanya seluas 144 bau (1 bau = 7.000m2), sekarang mekar ke segala penjuru utara, dengan pemerasan damai dari wilayah Hindia Belanda yang lama, yaitu sebagian Distrik Madura, Kepatihan Imbanegara, Kabupaten Galuh, Karesidenan Cirebon, dan dari daerah ex Kerajaan Surakarta lainnya, seperti sebagian Kabupaten Banyumas Kasepuhan dan Kanoman, Pancang (Jeruklegi) dan Perdikan (Donan).
Disamping itu, para pejabat baru Kabupaten Dayu-Luhur Afdeling Ajibarang adalah tetap para pejabat ex Negeri Dayu-Luhur Kerajaan Surakarta, oleh karena itu wajar apabila mereka secara tidak terduga semula merasa mendapatkan promosi dalam bidang kewenangan dan pendapatan, karena memang Negeri Dayu-Luhur sudah sejak abad XV berkuasa di daerah cikal – bakal Kabupaten Cilacap sebelah barat Sungai Serayu.

Tidak ada komentar: