Pergulatan Kekuasaan Mataram
Sultan Agung merupakan raja Mataram yang sangat kuat, ia menentang Belanda dan sangat kharismatik karena menguasai ilmu agama, budaya maupun kanurgan, 2 x menyerang Batavia, selepas beliau digantikan putranya Amangkurat I yang jauh berbeda dari ayahnya, ia kompromi dengan Belanda dan memusuhi ulama, menumpas Giri dan membunuh ribuan ulama di alun-alun, hal ini memancing pemberontakan Trunojoyo. Tragedi rara hoyi atas anaknya amangkurat II mengantarkan anaknya berkoalisi dengan pemebrontak, kraton mataram di pleret luluhlantak dibakar Trunojoyo yang dibantu Amangkurat II, Saat mengetahui Kraton dibakar (tidak sesuai janji koalisinya) Amangkurat II berbalik membella ayahnya, saat di pelarian di Tegal arum, sebelum meninggal, amangkurat II diwarisi Tombak Kyai Pleret oleh Amangkurat I, tombak itulah yang digunakan Amangkurat II membunuh Trunojoyo. Saat bersamaan sang Paman Pangeran Puger menduduki Pleret memproklamirkan sebagai raja, sedangkan Amangkurat II mendirikan kraton baru di Kartasura dan diakui oleh belanda sebagai raja Mataram yang baru dan berkuasa penuh selama 23 tahun. Amangkurat II dari salah satu selirnya memilki putra "Wirapraja" yang dijadikan Bupati Dayeuhluhur. Amangkurat II digantikan putranya dari permaisuri Ratu Blitar, Pangeran Kencet (RM.Sutikna) sebagai Amangkurat III, ia hanya berkuasa 1 tahun karena dikudeta Pangeran Puger dengan bantuan Belanda menjadi raja mataram dengan gelar Pakubuwuno I, kemudian digantikan anaknya dengan gelar Amangkurat IV, kemudian digantikan lagi oleh anaknya bergelar Pakubuwono II, saat ini terjadi "geger pecinana" sehingga istana dipindahkan ke desa solo dan dikenal dengan istana surakarta dengan arsitek RM.Sujadi (P.Mangkubumi). Karena kedekatan PB.II dengan Belanda, Pangeran Mas Said (P.Sambernyawa) memberontak, P.mangkubumi diminta memadamkan pemberontakan dengan janji akan diberi wilayah kekuasaan, setelah berhasil janji tersebut diingkari karena dilarang Belanda, atas restu PB.II, P.mangkubumi bersatu dengan P.Sambernyawa memerangi Belanda, terkenal dengan istilah PERANG JAWA TAHAP I, Belanda dan Mataram tidak mampu mengalahkan P.mangkubumi, terjadilah Perjanjian Giyanti, dimana Mataram dibagi 2, Surakarta untuk PB.II dan Ngayogyakarta untuk P.Mangkubumi dan diangkat menjadi Sultan Hamengkubumwono I. P.Sambernyawa terus memberontak, akhirnya dengan perjanjian Salatiga sebagian wilayah Surakarta dijadikan kadipaten Mangkunegaran untuk P.Sambernyawa dengan gelar Sri mangkunegara I. Pada saat terjadi PD.I dimana Belanda di bawah kekuasaan Inggris, wilayah Hindia Belanda dikuasai Inggris, saat HB.II berkuasa di Yogyakarta diserang Inggris, istana dikuras dan wilayahnya dikurangi untuk kadipaten Pakualaman, sejak saat itulah Mataram terpecah menjadi 4. Kerajaan Kausnanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran, serta Kerajaan Kasultanan Ngayogyokarto dan Kadipaten Pakualaman. Saat kemerdekaan Indonesia, karena andil Kasultanan Ngayogyokarto utamanya sang Raja Sultan hamengkubuwono IX yang membantu perang gerilya dan SU 01 Maret 1949 dimana gerilyawan masuk kraton berganti busana kraton akan dibombardir pasukan Belanda, HB.IX menghadapi sendiri dan pasukan Belanda mundur, maka Yogyakarta yang menggabungkan diri dengan RI diberi status keistimewaan sebagai provinsi DIY dengan sultan sebagai Gubernur dan Pakualam sebagai wakil Gubernur, sedangkan Surakarta dan Mangkunegaraan secara wilayah masuk dalam Pemerintahan Provinsi Jawa Tengah. tahun 2013 ini ada gaung menuntut pemberlakukan DIS : Daerah Istimewa Surakarta.............??? mungkin ingin seperti DIY dan tidak lagi menjadi teritorial Pemprov.Jawa Tengah. Sepanjang ada bukti sejarah dan lebih mensejahterakan rakyat mengapa tidak ?................, tapi kalau hanya semata untuk melanggengkan kekuasaan semata bagi para darah biru,..........., bukan untuk kesejahteraan rakyat,......................... mengapa harus ???................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar