Memahami sejarah
Dayeuhluhur berikut ini harus berkenan mengikuti sejarah Sunda dan juga sejarah
Demak, Banyumas, Pajang serta
Mataram yang sangat mempengaruhi sejarah Dayeuhluhur
Penggunaan kata Dayeuhluhur
yang digunakan sekarang, pada awalnya terdapat beberapa ejaan, mulai dari
‘Dayaloehoer’ (Hallewijn), ‘Dayoloehoer’ (Vitalis), ‘Daijoe-Loehoer’ (surat
keputusan tanggal 18 Desember 1830 no 1) dan ‘Dayoe-Loehoer’ (Mr. van Lawick
van Pabst dan Resolusi tanggal 27 Agustus 1831 no 1).Menurut Mr. Vitalis, dayo
artinya desa, luhur artinya ketinggian atau gunung. Jadi Dayu-Luhur artinya
desa yang terletak di ketinggian atau gunung
1. Dayeuhluhur Masa Hindu-Buddha
Sekitar tahun 1490-an Arya Gagak
Ngampar (Banyak Ngampar) dijadikan Adipati Dayeuhluhur oleh Kakaknya Banyak
Cotro (Prabu Kamandaka) Adipati Pasirluhur di Karanglewas (Barat Kota
Purwokerto sekarang) sebagai daerah
bawahan Pasirluhur. Wilayah Kadipaten Dayeuhluhur ini meliputi wilayah yang
jauh lebih luas dibandingkan wilayah Kec.Dayeuhluhur saat ini, jika
dibandingkan saat ini meliputi : Seluruh wil.Kab.Cilacap saat ini sampai Daerah
Ayah Kesugihan dan Wangon. Adipati Gagak
Ngampar setelah meninggal digantikan putranya Candi Kuning dengan gelar Adipati
Gagak Ngampar II.
1.a.
Latar Belakang Arya Gagak Ngampar
Dalam ceritera Babad Pasirluhur, pada awalnya
Dayeuhluhur merupakan salah satu wilayah
dari Kadipaten Pasirluhur yang dipimpin oleh adipati Kandadaha. Pada saat putri
kandadaha yang terakhir yang bernama Dewi Ciptoroso (anak adipati kandadaha
berjumlah 25 orang semuanya putri) dilamar oleh Prabu Pulebahas, Adipati dari
Kadipaten Nusakambangan yang disertai tekanan akan adanya invasi Nusakambanngan
atas Pasirluhur, maka atas bantuan Pasukan Pajajaran yang dipimpin kakak
beradik Banyak Cotro (Kamandaka) dan Banyak Ngampar (silihwarni) pasukan
Nusakambangan dapat dikalahkan dan Prabu Pulebahas pun tewas dalam pertempuran.
Kakan beradik itu dari Nusakambangan dan Pasir luhur masing-masing mendapatkan 40 putri boyongan ditambah
Banyak Cotro dinikahkan dengan Dewi Ciptoroso dan Banyak Ngampar menikahi Dewi
Purwati/Dewi Pringgisari adik dari Adipati Pulebahas, kesemuanya diboyong ke
Pajajaran sebagai prasarat untuk menjadi putra mahkota Pajajaran. Kejadian ini
berlangsung pada kisaran tahun 1485. Hal ini berkaitan dengan sejarah sunda dan
Pajajaran. Bahwa pada tahun 1375 Raja Pajajaran Prabu Linggabuana bersama istri
dan anaknya Dyah Ayu Pitaloka dan seluruh prajurit yang mengiringinya gugur
dalam perang “Bubat” akibat tipu muslihat Mahapatih Majapahit Gadjah Mada yang
merubah pertemuan antar calon pengantin Dyah Pitaloka dengan Raja Majapahit
Hayam Wuruk menjadi “penundukan raja Pajajaran pada Majapahit” yang ditolak
oleh Prabu Linggabuana yang lebih baik bertempur mati-matian daripada harus
tunduk pada Majapahit apalagi dengan tipu muslihat dan ingkar janji, kekuatan
Prabu Linggabuana yang mempertahankan harga diri dan keharuman Bangsa Pajajaran
ini diabadikan dengan sebutan “PRABU WANGI” artinya Raja yang menjaga keharuman
nama bangsa Pajajaran. Karena putra mahkota masih kecil maka kerajaan
dijalankan oleh adik prabu Linggabuana yaitu Patih Bunisora/Borosngora sampai
dengan tahun 1371 M. Patih Gadjah Mada merasa bersalah dan gagal dalam peristiwa
Bubat sehingga mengasingkan diri bertahun-tahun di hutan Tarik, Raja Majapahit
Hayam Wuruk sangat terpukul atas peristiwa Bubat dan memohon maaf pada
Bunisoro, namun Bunisora tetap waspada dan memperkuat pertahanan di sisi timur
Pajajaran dari Cipamali sampai Cijolang. Patih
Bunisora adalah Mangkubumi Suradipati atau Prabu Kuda Lalean atau Batara Guru
Jampang (dalam babad Panjalu, ia dimakamkan di Geger Omas). Pada
tahun 1371 Putra Mahkota naik tahta dengan nama Niskala Wastu Kencana sebagai
raja Pajajaran ke 26 sampai dengan tahun 1475. Prabu Niskala Wastu Kencana
menikahi saudara sepupunya anak dari Buni sora yaitu Dewi Mayangsari dan
dikarunia anak bernama Dewa Niskala dan Ki Gedeng Sindangkasih. Perkawinan
kedua dengan Dewi Lara Sukarti dikaruniai anak bernama Susuk Tunggal.
Pemerintahan Niskala Wastu Kencana 1371-1475 (105 tahun) mengalami kejayaan,
sehingga diberi gelar “PRABU WANGISUTAH”
raja yang meneruskan keharuman ayahandanya prabu wangi, sebaliknya
selama dekade
itu Majapahit mengalami perang saudara (paregreg) dan perebutan kekuasaan
antara Brawijaya V dan VI dan munculnya kerajaan Demak yang melemahkan
Majapahit. Pada tahun 1475 Pajajaran dibagi 2 kerajaan untuk kedua anaknya,
Kerajaan Sunda untuk Prabu Susuk Tunggal dan Kerajaan Galuh Untuk Prabu Dewa
Niskala. Pada saat Prabu Niskala Wastu Kencana masih berkuasa, Susuk Tunggal
telah memiliki putri bernama Kentringmanik mayang sunda dan Amuk marugul,
sedangkan Dewa Niskala telah memiliki putra bernama PAMANAH RASA yang menjadi
cucu kesayangan Niskala Wastu Kencana. Pamanah Rasa sangat sakti dan mewarisi
ilmu dan kebijaksanaan kakeknya, ia menikahi sepupunya putri Ki GedengKasih
yang bernama Dewi Ambetkasih dan memiliki 3 orang anak, Banyak Cotro, Banyak
Ngampar dan Dewi Ratna Pamekas. Karena Dewi Ambetkasih meninggal Pamanah rasa
mengawini gadis muslim Dewi Subanglarang saat diutus kakeknya menghancurkan
Pondok Quro (kawasan ponpes syech Hasanudin di Kerawang yang bermazhab Hanafi)
alih-alih menghancurkan pondok malah menikah dengan salah satu santriwatinya Dewi Subanglarang yang
merupakan anak dari Ki Gedeng Tapa Cirebon. Dari perkawinanannya dengan gadis
muslimah melahirkan 3 anak muslim yaitu anak pertama bernama Walangsungsang
yang menjadi Adipati Cirebon dengan nama Pangeran Cakrabuana, anak kedua putri
Rara Santang yang menikah dengan raja Mesir menurunkan Sunan Gunung Jati dan
anak ketiga Raja sangara atau Kian Santang yang menjadi Senopati Perang Cirebon
dan akhirnya menjadi wali penyebar Islam dengan nama “Sunan Godog”. Perkawinan
ini menyalahi perintah sang Kakek sehingga berlangsung di luar istana, saat
kembali ke istana Pamanah rasa dinikahkan dengan sepupunya putri Prabu Susuk
Tunggal raja Sunda, Dewi Kentringmanik
Mayang sunda dengan janji kelak anak yang lahir harus menjadi putra mahkota
jika kelak Pamanah rasa menjadi Raja Galuh menggantikan Dewa Niskala
(perjanjian ini tidak diketahui oleh anak-anak lainya dari istri pertama Banyak
Cotro, Banyak Ngampar, Ratna Pamekas). Dari perkawinanya dengan Mayang Sunda
dikarunia anak lelaki bernama Banyak Blabur dan Surasowan yang menjadi adipati
Banten dan anak putri Surawati yang menikah dengan adipati Sunda Kelapa. Pada
tahun 1482 Bangsawan Majapahit utamanya saudara-saudara Brawijaya V,
diantaranya adiknya Arya Baribin dan rombongan mengungsi ke Galuh, diterima
Dewa Niskala dan Arya Baribin dinikahkan dengan
cucunya / anak Pamanah rasa, Dewi Ratna Pamekas, dan Dewa Niskala
menikahi salah satu putri pelarian Majapahit yang telah memiliki tunangan, hal
ini dianggap sebagai “pelanggaran berat”
atas pamali dari dampak “Perang Bubat” menikahi putri Majapahit dan
menikahkan putrinya dengan pria Majapahit serta menikahi orang yang sudah
bertunangan. Sebagai hukuman, Dewi Ratna Pamekas dan Arya Baribin diungsikan
keluar istana dan Dewa Niskala harus turun tahta dan digantikan oleh Pamanah
Rasa dengan permaisurinya Dewi Kentringmanik Mayang Sunda. Karena Amuk Marugul
satu-satunya anak lelaki dari Susuk Tunggal telah tewas di tangan Pamanah Rasa
saat memperebutkan Dewi Subang Larang di Kerawang saat penyerbuan Pondok Quro
(keduanya jatuh cinta pada Dewi Subanglarang sehingga terjadi perang tanding)
maka Susuk Tunggal memberikan tahta sunda kepada Pamanah Rasa menantunya,
sehingga Pamanah Rasa Menyatukan Kembali sunda dan Galuh menjadi Pajajaran
Baru. Penobatan Pamanah Rasa tahun 1482 dengan Gelar Prabu JAYADEWATA, karena
kepemimpinannya yang memajukan Pajajaran sangat pesat maka dijuluki sebagai
PRABU SILIHWANGI, artinya raja yang menggantikan dan meneruskan kejayaan Prabu
Wangi dan Prabu Wangisutah (Kakek dan buyutnya).Kata silihwangi secara aksen
berubah menjadi Siliwangi. Ketiga anak Pamanahrasa dari Dewi Subanglarang
yang menikah di luar istana dan beragama
islam tidak akan menjadi putra mahkota dan kesemuanya telah mendirikan dinasti
sendiri membuat kerajaan Cirebon dan Banten, dimana Walangsungsang mendirikan
Cirebon dan digantikan keponakannya Sunan Gunungjati yang sejak 1482 berotonomi
sendiri tidak tunduk lagi kepada Pajajaran, dan anak cucu Sunan Gunungjati
menyerang keturunan Surasowan mendirikan kerajaan di Banten serta menundukan
Sunda Kelapa menjadi Jayakarta dibawah Fatahilah. Tinggalah 3 orang calon putra
mahkota yaitu Banyak Cotro, Banyak Ngampar dan Banyak Blabur. Saat ketiganya
membawa masing-masing 40 putri boyongan, Siliwangi menerima ketiga calon putra
mahkota dan mengajukan syarat disamping 40 putri boyongan maka putra mahkota
harus berbadan mulus dan tanpa
cacat, karena Banyak Cotro dan Banyak Ngampar tubuhnya terluka saat peperangan
di Pasir luhur maka putra mahkota jatuh kepada Banyak Blabur (sebagai suatu
siasat untuk memenuhi janji kepada Susuk Tunggal dan Dewi Kentringmanik
Mayangsunda). Keputusan ini menyebabkan ketiga anak dari istri Pamanah rasa
Dewi Ambetkasih itu (Banyak Cotro dan Banyak Ngampar) serta Dewi Ratna Pamekas
yang dihukum usir dari istana karena dinikahkan dengan arya Baribin Pandita
putra, ketiganya meninggalkan Pajajaran dan kembali ke Pasir Luhur. Oleh
mertuanya Kandadaha, Banyak Cotro diangkat menjadi Adipati Pasir luhur dan menurunkan adipati Pasir Luhur Selanjutnya.
Banyak Cotro kemudian mengangkat Banyak
Ngampar menjadi Adipati Dayeuhluhur sebagian wilayah Pasir luhur di
Barat yang kelak menurunkan keturunan Dayeuhluhur dan menempatkan serta
menerima Ratna Pamekas dan Arya Baribin yang kelak menurunkan Adipati Mrapat
(Joko Kaiman) sebagai leluhur para adipati Banyumas. Dari ketiga kakak beradik
inilah kelak menurunkan para leluhur orang-orang di wilayah Banyumas dan
Dayeuhluhur serta Cilacap melalui perkawinan antar saudara diantara mereka.
Rangkaian peristiwa ini diperkirakan terjadi tahun 1485-1490.
1.b.
Arya Gagak Ngampar I - III
Raden Banyak Ngampar alias Arya Gagak Ngampar
alias Panembahan Haur yang menikahi Dewi Purwati atau Dewi Peringgi atau
Panembahan Biang (adik Pule Bahas, Putri Boyongan dari Nusakambangan) dikarunia
2 anak yaitu anak lelaki bernama Candi Kuning dan anak Putri bernama Dewi
Ratnasari atau Niken Rantamsari, dan mendirikan astana di Salangkuning
Dayeuhluhur. Arya Gagak Ngampar berbesanan dengan Kakaknya Arya Kamandaka
(Banyak Cotro) dengan menikahkan putrinya Niken Rantamsari dengan Banyak Wirata
yang menjadi Adipati Pasir Luhur kelak menggantikan ayahnya Kamandaka. Candi
Kuning Menggantikan Gagak Ngampar menjadi adipati Dayeuhluhur Dengan Nama
Adipati Arya Gagak Ngampar II , dan berputra Candilaras (laki-laki) dan Dewi
Niken Kurenta (perempuan). Candi Kuning
kembali mempererat hubungan dengan pasirluhur karena berbesanan dengan Banyak
Wirata dengan menikahkan putrinya Niken Kurenta dengan Banyak Roma yang
akhirnya menjadi adipati Pasir luhur menggantikan ayahnya Banyak Wirata. Dari
Dewi Niken Kurenta ini kelak menurunkan Banyak Kesumba (Senopati Mangkubumi I
Kerajaan Demak) dan Banyak Eleng/Banyak Galeh ((Senopati Mangkubumi II Kerajaan
Demak) dan menurunkan “Trah Banyumas”. Setelah meninggal, Candi Kuning
Digantikan anaknya Candilaras dengan gelar Arya Gagak Ngampar III
Tidak ada komentar:
Posting Komentar