Senin, 05 Agustus 2013

1.DAYEUHLUHUR JAMAN HINDU-BUDHA


Memahami sejarah Dayeuhluhur berikut ini harus berkenan mengikuti sejarah Sunda dan juga sejarah Demak, Banyumas, Pajang serta Mataram yang sangat mempengaruhi sejarah Dayeuhluhur
Penggunaan kata Dayeuhluhur yang digunakan sekarang, pada awalnya terdapat beberapa ejaan, mulai dari ‘Dayaloehoer’ (Hallewijn), ‘Dayoloehoer’ (Vitalis), ‘Daijoe-Loehoer’ (surat keputusan tanggal 18 Desember 1830 no 1) dan ‘Dayoe-Loehoer’ (Mr. van Lawick van Pabst dan Resolusi tanggal 27 Agustus 1831 no 1).Menurut Mr. Vitalis, dayo artinya desa, luhur artinya ketinggian atau gunung. Jadi Dayu-Luhur artinya desa yang terletak di ketinggian atau gunung
1. Dayeuhluhur Masa Hindu-Buddha
Sekitar tahun 1490-an Arya Gagak Ngampar (Banyak Ngampar) dijadikan Adipati Dayeuhluhur oleh Kakaknya Banyak Cotro (Prabu Kamandaka) Adipati Pasirluhur di Karanglewas (Barat Kota Purwokerto sekarang) sebagai  daerah bawahan Pasirluhur. Wilayah Kadipaten Dayeuhluhur ini meliputi wilayah yang jauh lebih luas dibandingkan wilayah Kec.Dayeuhluhur saat ini, jika dibandingkan saat ini meliputi : Seluruh wil.Kab.Cilacap saat ini sampai Daerah Ayah Kesugihan dan Wangon.  Adipati Gagak Ngampar setelah meninggal digantikan putranya Candi Kuning dengan gelar Adipati Gagak Ngampar II.
1.a. Latar Belakang Arya Gagak Ngampar
Dalam ceritera Babad Pasirluhur, pada awalnya Dayeuhluhur  merupakan salah satu wilayah dari Kadipaten Pasirluhur yang dipimpin oleh adipati Kandadaha. Pada saat putri kandadaha yang terakhir yang bernama Dewi Ciptoroso (anak adipati kandadaha berjumlah 25 orang semuanya putri) dilamar oleh Prabu Pulebahas, Adipati dari Kadipaten Nusakambangan yang disertai tekanan akan adanya invasi Nusakambanngan atas Pasirluhur, maka atas bantuan Pasukan Pajajaran yang dipimpin kakak beradik Banyak Cotro (Kamandaka) dan Banyak Ngampar (silihwarni) pasukan Nusakambangan dapat dikalahkan dan Prabu Pulebahas pun tewas dalam pertempuran. Kakan beradik itu dari Nusakambangan dan Pasir luhur  masing-masing mendapatkan 40 putri boyongan ditambah Banyak Cotro dinikahkan dengan Dewi Ciptoroso dan Banyak Ngampar menikahi Dewi Purwati/Dewi Pringgisari adik dari Adipati Pulebahas, kesemuanya diboyong ke Pajajaran sebagai prasarat untuk menjadi putra mahkota Pajajaran. Kejadian ini berlangsung pada kisaran tahun 1485. Hal ini berkaitan dengan sejarah sunda dan Pajajaran. Bahwa pada tahun 1375 Raja Pajajaran Prabu Linggabuana bersama istri dan anaknya Dyah Ayu Pitaloka dan seluruh prajurit yang mengiringinya gugur dalam perang “Bubat” akibat tipu muslihat Mahapatih Majapahit Gadjah Mada yang merubah pertemuan antar calon pengantin Dyah Pitaloka dengan Raja Majapahit Hayam Wuruk menjadi “penundukan raja Pajajaran pada Majapahit” yang ditolak oleh Prabu Linggabuana yang lebih baik bertempur mati-matian daripada harus tunduk pada Majapahit apalagi dengan tipu muslihat dan ingkar janji, kekuatan Prabu Linggabuana yang mempertahankan harga diri dan keharuman Bangsa Pajajaran ini diabadikan dengan sebutan “PRABU WANGI” artinya Raja yang menjaga keharuman nama bangsa Pajajaran. Karena putra mahkota masih kecil maka kerajaan dijalankan oleh adik prabu Linggabuana yaitu Patih Bunisora/Borosngora sampai dengan tahun 1371 M. Patih Gadjah Mada merasa bersalah dan gagal dalam peristiwa Bubat sehingga mengasingkan diri bertahun-tahun di hutan Tarik, Raja Majapahit Hayam Wuruk sangat terpukul atas peristiwa Bubat dan memohon maaf pada Bunisoro, namun Bunisora tetap waspada dan memperkuat pertahanan di sisi timur Pajajaran dari Cipamali sampai Cijolang. Patih Bunisora adalah Mangkubumi Suradipati atau Prabu Kuda Lalean atau Batara Guru Jampang (dalam babad Panjalu, ia dimakamkan di Geger Omas). Pada tahun 1371 Putra Mahkota naik tahta dengan nama Niskala Wastu Kencana sebagai raja Pajajaran ke 26 sampai dengan tahun 1475. Prabu Niskala Wastu Kencana menikahi saudara sepupunya anak dari Buni sora yaitu Dewi Mayangsari dan dikarunia anak bernama Dewa Niskala dan Ki Gedeng Sindangkasih. Perkawinan kedua dengan Dewi Lara Sukarti dikaruniai anak bernama Susuk Tunggal. Pemerintahan Niskala Wastu Kencana 1371-1475 (105 tahun) mengalami kejayaan, sehingga diberi gelar “PRABU WANGISUTAH”  raja yang meneruskan keharuman ayahandanya prabu wangi, sebaliknya selama dekade itu Majapahit mengalami perang saudara (paregreg) dan perebutan kekuasaan antara Brawijaya V dan VI dan munculnya kerajaan Demak yang melemahkan Majapahit. Pada tahun 1475 Pajajaran dibagi 2 kerajaan untuk kedua anaknya, Kerajaan Sunda untuk Prabu Susuk Tunggal dan Kerajaan Galuh Untuk Prabu Dewa Niskala. Pada saat Prabu Niskala Wastu Kencana masih berkuasa, Susuk Tunggal telah memiliki putri bernama Kentringmanik mayang sunda dan Amuk marugul, sedangkan Dewa Niskala telah memiliki putra bernama PAMANAH RASA yang menjadi cucu kesayangan Niskala Wastu Kencana. Pamanah Rasa sangat sakti dan mewarisi ilmu dan kebijaksanaan kakeknya, ia menikahi sepupunya putri Ki GedengKasih yang bernama Dewi Ambetkasih dan memiliki 3 orang anak, Banyak Cotro, Banyak Ngampar dan Dewi Ratna Pamekas. Karena Dewi Ambetkasih meninggal Pamanah rasa mengawini gadis muslim Dewi Subanglarang saat diutus kakeknya menghancurkan Pondok Quro (kawasan ponpes syech Hasanudin di Kerawang yang bermazhab Hanafi) alih-alih menghancurkan pondok malah menikah dengan salah satu santriwatinya Dewi Subanglarang yang merupakan anak dari Ki Gedeng Tapa Cirebon. Dari perkawinanannya dengan gadis muslimah melahirkan 3 anak muslim yaitu anak pertama bernama Walangsungsang yang menjadi Adipati Cirebon dengan nama Pangeran Cakrabuana, anak kedua putri Rara Santang yang menikah dengan raja Mesir menurunkan Sunan Gunung Jati dan anak ketiga Raja sangara atau Kian Santang yang menjadi Senopati Perang Cirebon dan akhirnya menjadi wali penyebar Islam dengan nama “Sunan Godog”. Perkawinan ini menyalahi perintah sang Kakek sehingga berlangsung di luar istana, saat kembali ke istana Pamanah rasa dinikahkan dengan sepupunya putri Prabu Susuk Tunggal raja Sunda, Dewi Kentringmanik Mayang sunda dengan janji kelak anak yang lahir harus menjadi putra mahkota jika kelak Pamanah rasa menjadi Raja Galuh menggantikan Dewa Niskala (perjanjian ini tidak diketahui oleh anak-anak lainya dari istri pertama Banyak Cotro, Banyak Ngampar, Ratna Pamekas). Dari perkawinanya dengan Mayang Sunda dikarunia anak lelaki bernama Banyak Blabur dan Surasowan yang menjadi adipati Banten dan anak putri Surawati yang menikah dengan adipati Sunda Kelapa. Pada tahun 1482 Bangsawan Majapahit utamanya saudara-saudara Brawijaya V, diantaranya adiknya Arya Baribin dan rombongan mengungsi ke Galuh, diterima Dewa Niskala dan Arya Baribin dinikahkan dengan  cucunya / anak Pamanah rasa, Dewi Ratna Pamekas, dan Dewa Niskala menikahi salah satu putri pelarian Majapahit yang telah memiliki tunangan, hal ini dianggap sebagai “pelanggaran berat”  atas pamali dari dampak “Perang Bubat” menikahi putri Majapahit dan menikahkan putrinya dengan pria Majapahit serta menikahi orang yang sudah bertunangan. Sebagai hukuman, Dewi Ratna Pamekas dan Arya Baribin diungsikan keluar istana dan Dewa Niskala harus turun tahta dan digantikan oleh Pamanah Rasa dengan permaisurinya Dewi Kentringmanik Mayang Sunda. Karena Amuk Marugul satu-satunya anak lelaki dari Susuk Tunggal telah tewas di tangan Pamanah Rasa saat memperebutkan Dewi Subang Larang di Kerawang saat penyerbuan Pondok Quro (keduanya jatuh cinta pada Dewi Subanglarang sehingga terjadi perang tanding) maka Susuk Tunggal memberikan tahta sunda kepada Pamanah Rasa menantunya, sehingga Pamanah Rasa Menyatukan Kembali sunda dan Galuh menjadi Pajajaran Baru. Penobatan Pamanah Rasa tahun 1482 dengan Gelar Prabu JAYADEWATA, karena kepemimpinannya yang memajukan Pajajaran sangat pesat maka dijuluki sebagai PRABU SILIHWANGI, artinya raja yang menggantikan dan meneruskan kejayaan Prabu Wangi dan Prabu Wangisutah (Kakek dan buyutnya).Kata silihwangi secara aksen berubah menjadi Siliwangi. Ketiga anak Pamanahrasa dari Dewi Subanglarang yang  menikah di luar istana dan beragama islam tidak akan menjadi putra mahkota dan kesemuanya telah mendirikan dinasti sendiri membuat kerajaan Cirebon dan Banten, dimana Walangsungsang mendirikan Cirebon dan digantikan keponakannya Sunan Gunungjati yang sejak 1482 berotonomi sendiri tidak tunduk lagi kepada Pajajaran, dan anak cucu Sunan Gunungjati menyerang keturunan Surasowan mendirikan kerajaan di Banten serta menundukan Sunda Kelapa menjadi Jayakarta dibawah Fatahilah. Tinggalah 3 orang calon putra mahkota yaitu Banyak Cotro, Banyak Ngampar dan Banyak Blabur. Saat ketiganya membawa masing-masing 40 putri boyongan, Siliwangi menerima ketiga calon putra mahkota dan mengajukan syarat disamping 40 putri boyongan maka putra mahkota harus berbadan mulus dan tanpa cacat, karena Banyak Cotro dan Banyak Ngampar tubuhnya terluka saat peperangan di Pasir luhur maka putra mahkota jatuh kepada Banyak Blabur (sebagai suatu siasat untuk memenuhi janji kepada Susuk Tunggal dan Dewi Kentringmanik Mayangsunda). Keputusan ini menyebabkan ketiga anak dari istri Pamanah rasa Dewi Ambetkasih itu (Banyak Cotro dan Banyak Ngampar) serta Dewi Ratna Pamekas yang dihukum usir dari istana karena dinikahkan dengan arya Baribin Pandita putra, ketiganya meninggalkan Pajajaran dan kembali ke Pasir Luhur. Oleh mertuanya Kandadaha, Banyak Cotro diangkat menjadi Adipati Pasir luhur  dan menurunkan adipati Pasir Luhur Selanjutnya. Banyak Cotro kemudian mengangkat Banyak  Ngampar menjadi Adipati Dayeuhluhur sebagian wilayah Pasir luhur di Barat yang kelak menurunkan keturunan Dayeuhluhur dan menempatkan serta menerima Ratna Pamekas dan Arya Baribin yang kelak menurunkan Adipati Mrapat (Joko Kaiman) sebagai leluhur para adipati Banyumas. Dari ketiga kakak beradik inilah kelak menurunkan para leluhur orang-orang di wilayah Banyumas dan Dayeuhluhur serta Cilacap melalui perkawinan antar saudara diantara mereka. Rangkaian peristiwa ini diperkirakan terjadi tahun 1485-1490.
            1.b. Arya Gagak Ngampar I - III
Raden Banyak Ngampar alias Arya Gagak Ngampar alias Panembahan Haur yang menikahi Dewi Purwati atau Dewi Peringgi atau Panembahan Biang (adik Pule Bahas, Putri Boyongan dari Nusakambangan) dikarunia 2 anak yaitu anak lelaki bernama Candi Kuning dan anak Putri bernama Dewi Ratnasari atau Niken Rantamsari, dan mendirikan astana di Salangkuning Dayeuhluhur. Arya Gagak Ngampar berbesanan dengan Kakaknya Arya Kamandaka (Banyak Cotro) dengan menikahkan putrinya Niken Rantamsari dengan Banyak Wirata yang menjadi Adipati Pasir Luhur kelak menggantikan ayahnya Kamandaka. Candi Kuning Menggantikan Gagak Ngampar menjadi adipati Dayeuhluhur Dengan Nama Adipati Arya Gagak Ngampar II , dan berputra Candilaras (laki-laki) dan Dewi Niken Kurenta (perempuan).  Candi Kuning kembali mempererat hubungan dengan pasirluhur karena berbesanan dengan Banyak Wirata dengan menikahkan putrinya Niken Kurenta dengan Banyak Roma yang akhirnya menjadi adipati Pasir luhur menggantikan ayahnya Banyak Wirata. Dari Dewi Niken Kurenta ini kelak menurunkan Banyak Kesumba (Senopati Mangkubumi I Kerajaan Demak) dan Banyak Eleng/Banyak Galeh ((Senopati Mangkubumi II Kerajaan Demak) dan menurunkan “Trah Banyumas”. Setelah meninggal, Candi Kuning Digantikan anaknya Candilaras dengan gelar Arya Gagak Ngampar III

Tidak ada komentar: