Rabu, 14 Agustus 2013

8.KONTROVERSI PEMBUBARAN DAYEUHLUHUR


 KONTROVERSI SEJARAH AKHIR DAYEUHLUHUR
(Sebuah Catatan Permenungan)


Akhir dari sejarah Kabupaten Dayeuhluhur yang dibubarkan oleh Kolonial Belanda per Oktober 1831, dari beberapa catatan dan sumber mengalami kontroversi, ada 2 ceritera yang berbeda.
1.    Versi pertama, keterlibatan perang Diponegoro
Pada versi ini diperkirakan bahwa Tumenggung Prawiranegara mendukung P.Diponegoro dimana saat-saat terakhir terjadi pertemuan 3 tokoh di tepi sungai Cibaganjing leuwi genteng utara dusun Kaduomas antara P.Diponegoro, Sentot Ali Basyah dan Tumenggung Prawiranegara. Petilasan ini dikenal masyarakat sebagai petilasan makam “Ki Abad” metaphase dari “Kyai Abbas” alias Sentot Ali Basyah, yang akhirnya baik Sentot Ali Basyah maupun Tumenggung Prawiranegara dibuang ke Padang.
Atas versi ini belum ditemukan catatan maupun tulisan sebagai bukti kerlibatan Tumenggung Prawiranegara (Wiradika III) pada perang Diponegoro, belum kami temukan pula bukti fisik makam beliau di Padang
2.    Versi kedua, kesalahan perilaku Bupati terakhir
Pembentukan Kabupaten Dayu-Luhur pada Zaman Penjajahan Belanda sebetulnya merupakan pemekaran yang luar biasa dari Negeri Dayaluhur lama pada Zaman Jawa. Daerah yang semula hanya seluas 144 bau (1 bau = 7.000m2), sekarang mekar ke segala penjuru utara, dengan pemerasan damai dari wilayah Hindia Belanda yang lama, yaitu sebagian Distrik Madura, Kepatihan Imbanegara, Kabupaten Galuh, Karesidenan Cirebon, dan dari daerah ex Kerajaan Surakarta lainnya, seperti sebagian Kabupaten Banyumas Kasepuhan dan Kanoman, Pancang (Jeruklegi) dan Perdikan (Donan). (Mr. van Lawick van Pabst dan Resolusi tanggal 27 Agustus 1831 no 1).
Disamping itu, para pejabat baru Kabupaten Dayu-Luhur Afdeling Ajibarang adalah tetap para pejabat ex Negeri Dayu-Luhur Kerajaan Surakarta, oleh karena itu wajar apabila mereka secara tidak terduga semula merasa mendapatkan promosi dalam bidang kewenangan dan pendapatan, karena memang Negeri Dayu-Luhur sudah sejak abad XV berkuasa di daerah cikal – bakal Kabupaten Cilacap sebelah barat Sungai Serayu.
Menurut penuturan Mangkoewinata, perubahan status Negeri Dayu-Luhur memang menimbulkan ekses. Bupati Tumenggung Prawiranegara menjadi peminum alkohol kelas berat. Bahkan ketika beliau mengunjungi Kawedanan Pegadingan, di rumah Wedana beliau ketagihan alkohol. Yang menjadi Wedana Pegadingan, Mas Mertadika adalah adik tiri beliau lain ibu. Di luar kesadarannya, dengan keris terhunus, beliau menganiaya ibutiri, ibu dari Wedana Pegadingan serta kedua pembantu ibu selir tadi, sehingga meningalkan luka yang dalam, tetapi tidak meninggal. Kemudian beliau membakar rumah Wedana, serta menganiaya sampai mati 4 orang lelaki yang hendak memadamkan kebakaran tadi. Setelah api padam dan beliau sadar kembali, beliau sangat menyesal dan akan menyerahkan diri pada Bupati Adipati Mertadireja II dan Asisten residen Mr. D. A. Varkevisser di Ajibarang. Wedana Pegadingan sudah melaporkan hal ini pada kedua pejabat tersebut, sehingga Tumenggung Prawiranegara sebelum sampai ke Ajibarang telah bertemu dengan mereka. Bupati Dayu – Luhur dipecat dari kedudukannya dan kemudian dibuang ke Pulau Banda. Raden Wirjaatmadja dalam Babad Banyumas secara singkat hanya memberitakan jika Tumenggung Prawiranegara menderita sakit jiwa dan dibuang ke Padang.

Pada waktu pengukuhan Onder Regentschap Cilacap, Raden Tumenggung Prawiranegara, mantan Bupati Dayu-Luhur yang tahun 1831 dibuang ke Pulau Banda, juga masih hidup di Purwokerto dengan pensiun f 50. Beliau diperbolehkan kembali ke Banyumas setelah diasingkan selama 3-4 tahun sebab Bupati Purwokerto, Raden Adipati Mertadireja II bersedia menerima di daerahnya dan sanggup mengawasi perilakunya. Raden Tumenggung Prawiranegara diperbolehkan berdomisili di Bantarsoka, Purwokerto, sekarang menjadi Stasiun Kereta Api Purwokerto. Setelah meninggal beliau dimakamkan di Pesarean Kolekturan Pasir Kulon, sekarang masuk Kecamatan Karanglewas, sekitar 5 km sebelah barat kota Purwokerto.
Faktualnya setelah kami melakukan penelusuran makam tumenggung Prawiranegara (Wiradika III) berada di bagian sisi utara barat makam Pasir Lor karanglewas (foto dan denah terlampir) dan telah dibangun dan dirawat oleh Bapak Edi mantan Kepala Desa Kalicupak Kalibagor Banyumas (informasi dari juru kunci) pada nisannya tertulis Tumenggung Prawiranegara Bupati Majenang.
Dengan surat Asisten Residen Ajibarang pada tanggal 24 Oktober 1831 no 184, Bupati Ajibarang diberi kuasa Kabupaten Dayu-Luhur. Lowongan jabatan Bupati Dayu-Luhur ditiadakan. Oleh karena itu Kabupaten Dayu-Luhur yang baru 2 bulan dikukuhkan, merosot statusnya menjadi Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur Kabupaten Ajibarang, yang dipimpin oleh Mas Kramayuda.

Dari kedua versi tersebut menurut kami , masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan, kelemahan  versi pertama atas versi kedua :
a)    Versi pertama tidak ada catatan dan bukti yang kuat atas keterlibatan Wiradika III (Tumenggung Prawiranegara) pada perang Diponegoro baik catatan dari pelaku sejarah lokal, nasional, internasional. Bahkan dalam Catatan De Java Oorloog 1825-1830 arsip perang Diponegoro tidak menyebutkan nama Tumenggung Prawiranegara maupun Wiradika III maupun Bupati Dayeuhluhur ataupun Bupati Majenang.
b)    Versi kedua memiliki banyak bukti catatan-catatan meskipun ada 2 (dua) catatan, yang satu menyebutkan Tumenggung Prawiranegara mengalami gangguan jiwa dan dibuang ke Padang (catatan yang cukup menyedihkan, namun tanpa bukti. Catatan kedua menyebutkan dibuang ke Banda selama 4 tahun dan kembali dibawah pengampuan Bupati Banyumas dan tetap mendapat hak pension sampai meninggalnya di Purwokerto. Kami menemukan bukti fisik makamnya di Pesareyan Pasir Lor. Namun yang menjadi “pertanyaan kritis” apakah tindakan “criminal” seorang kepala daerah dapat menjadikan daerah tersebut dibubarkan oleh seorang asisten residen??? Jika kita diperkenankan berlogika agak “nakal” menggunakan percaturan politik saat ini, bisa jadi Tumenggung Prawiranegara memang terlibat Perang Diponegoro kemudian bukti-buktinya dihilangkan dan dilakukan “kriminalisasi” sebagai alas an untuk membuangnya ke Banda selama 4 tahun namun tetap mendapat tunjangan pension. Hal yang sama diberlakukan kepada Pangeran Diponegoro yang memang tidak “dibunuh” tapi diasingkan ke Makasar juga dengan hak gaji dari Pemerintah Belanda.

3.    Percikan Permenungan

Secara historis memang pembentukan Kabupaten Cilacap (Regentschap Cilacap) dibuat  dan dilahirkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda (warisan penjajah), untuk kepentingan Belanda mempercepat dan mempermudah transportasi pengerukan hasil bumi Jawa bagian selatan khususnya  wilayah Banyumas serta unuk benteng pertahanan  yang strategis. Kabupaen Dayeuhluhur merupakan warisan asli dari para leluhur pribumi sejak jaman Pasirluhur,Mataram dan Surakarta namun dihapus dengan mudahnya oleh kolonial Belanda. Sehingga seremonial peringatan hari jadi Kab.Cilacap 21 Maret 1856 tentunya mengiris rasa nasionalisme anak bangsa, namun itulh kenyataan sejarah.
Pembubaran Dayeuhluhur disamping politis seperti “perkiraan” di atas, menurut kami  juga karena pertimbangan ekonomi kaum imperalis, Dayeuhluhur dengan ibukota Majenang saat itu adalah daerah yang tertinggal dibandingkan 3 (tiga) Kabupaten lain yang se karesidenan, baik pertumbuhan penduduk maupun hasil buminya, sementara Belanda memerlukan percepatan sarana transportasi dalam menguras hasil bumi di karesidenan Banyumas menuju ke negerinya, tentu pelabuhan alam “Cilacap” di Donan sangat menggiurkan. Meskipun daerah itu merupakan rawa-rawa dan banyak epidemic malaria, Belanda tetap berambisi membangun kota pelabuhan dan membangun terusan kanal “kali yasa” untuk memperlancar transportasi sungai serayu ke pelabuhan sebagai alat menguras hasil bumi secara cepat dan murah serta membangun benteng pertahanan tepi laut yang strategis baik di Nusakambangan maupun di teluk penyu dengan system “Benteng Pendem” nya. Ini adalah suatu pemikiran Belanda yang “modern” bila dibandingkan oleh pemikiran para leluhur kita yang merupakan raja-raja “agraris” yang membangun kota maupun kraton di pegunungan, karena di gunung tempatnya lebih tinggi lebih dekat dengan para “Dewa” dan dapat memandang wilayah rendah seolah-olah rakyat seluruhnya ada di bawah kaki kekuasaannya.
Kalu kita mau jujur atas kondisi di Dayeuhluhur dan seluruh eks Kawedanan Majenang dan Sidareja, dari dulu sampai sekarang tidak mengalami perkembangan kemajuan yang berarti dibandingkan daerah lain di sekitarnya. Dari aspek historis kejayaan penguasanya, Dayeuhlluhur semula merupakan bagian barat dari Pasirluhur, kemudian diberi otonomi menjadi kadipaten Dayeuhluhur di bawah Arya Gagak Ngampar I s/d Gagak Ngampar III tetapi masih underbow Pasirluhur. Saat Pasirluhur dibawah kekusaan Demak Bintoro, demikian pula Dayeuhluhur pun menjadi bawahan Demak Bintoro. Saat Demak melemah, Pasirluhur di bawah Pajang sementara Dayeuhluhur dijajah Galuh Kawali dan Kadipaten Dayeuhluhur ini dihapus statusnya. Pada saat Galuh dikalahkan Mataram, maka Dayeuhluhur dihidupkan kembali oleh Panembahan Senopati menjadi daerah bawahan Mataram, kemudian menjadi bawahan Kartasura bahkan Bupatinya kemudian dipilih dari keturunan Kartasura. Saat Surakarta dibawah cengkaraman Belanda maka Dayeuhluhurlah yang dilepas jadi jajahan Belanda dan akhirnya Belanda menghapuskan Dayeuhluhur dengan berbagai pertimbangan politis dan ekonomis. 
Kondisi “factual” sejarah atau kisah ini sejalan dengan anekdot para leluhur daerah Dayeuhluhur “ hayu nyalindung kanu mawa payung” artinya segeralah menyesuaikan diri dengan penguasa yang memegang kekuasaan. Hal ini bukan berarti para leluhur kita tidak memiliki “daya juang” dan “keperwiraan”, mereka dikenal sebagai “prajurit tangguh” yang memiliki “daya linuwih” baik sebagai panglima Demak, maupun Mataram bahkan berhasil mengobtrak-abrik Ciancang jadi banjir darah. Kondisi ini atas dasar pemikiran dan analisa yang “relevan” dikarenakan “lemahnya” potensi daerah yang dapat menopang kemakmuran dan pembangunan rakyatnya. Daerah selatan adalah kantong-kantong Banjir tahunan, daerah utara bertanah labil dan mudah longsor, pertanian menjadi tidak menggembirakan, bahkan hasil tambang juga belum ditemukan sampai sekarang. Atas kepiawaian penjajah Belanda dengan kultur stelsel baru cocok untuk perkebunan karet, kopi, cengkeh dan cacao, pinus merkusi, namun celakanya lahan-lahan subur untuk perkebunan tersebut sudah dikooptasi VOC yang akhirnya saat ini menjadi milik Negara dan BUMN.
Rakyat menyesuaikan diri, mereka dengan segala potensinya ada yang bertahan di bidang agraris, ada yang beralih menjadi tenaga kerja sector non agraris melalui jalur pendidikan akademik ataupun ketrampilan dan bekerja di daerah atau di daerah lain atau menjadi urban di kota besar bahkan menjadi TKI di luar negeri. Tingkat kesuburan “negeri Dayeuhluhur” jauh lebih baik dibandingkan Wonogiri ataupun Gunungkidul, hanya semangat membangun daerah asal tidak sehebat 2 (dua) daerah tadi yang nilai “remitten”nya sangat tinggi.
Ilusi sebagian “tokoh” untuk membentuk “otonomi baru” entah apa namanya Cilacap Barat ataupun “Simajaluhur = Sidareja Majenang Dayeuhluhur) kiranya perlu mempertimbangkan kembali aspek historis dan potensi ekonomi mas lalu maupun kekinian, apakah sector non agraris mampu berkembang? Apakah Agrobisnis menunjukan suasana cerah? Untuk sector pertambangan dan migas nampaknya sangat sulit diprediksikan di wilayah ini meskipun pernah ada “paranormal” yang meramalkan daerah Cilopadang memiliki kandungan minyak bumi yang tinggi melebihi Arab Saudi, namun Bupati Cilacap Heri Tabri Karta pernah meminta survey kepada ITB dan Petronas dengan hasil yang tidak menggembirakan pula. Jangan sampai semangat “otonomi” hanya menjadi kedok para “tokoh” untuk menjadi penguasa baru yang perlente namun menengadahkan tanganya lebar-lebar meminta bantuan kepada pemerintah provinsi dan pusat untuk memperkaya diri semata.
Jika kita mencintai daerah, masyarakat dan leluhur, ide Cilacap Barat sebaiknya bukan pada aspek politis, tetapi menjadikan wilayah “ekonomi pertumbuhan baru”  Simajaluhur dengan mempererat tali perikatan bisnis antar daerah yang saling komplementer dan bersimbiosis mutualistis dengan memperhatikan Local Qoution dan memanfaatkan kemajuan teknologi industry dan telekomunikasi. Semangat untuk menjadi “priyayi” sudah waktunya diubah menjadi bersemangat menjadi “enterpreuner” dengan mengembangkan daya kreatifitas local yang mampu menembus pasar global.
Pada prinsipnya “Masyarakat sejahtera” jauh lebih penting dari segelintir orang yang haus menjadi “Penguasa”. Apalah artinya menjadi penguasa di tengah masyarakat yang jauh dari sejahtera, yang hanya mampu menjual bahan baku bukan barang jadi, yang sering tercekik hutang piutang dan gadai menggadai bukan berinvenstasi, yang saat ini mulai terjangkit narkoba dan mirasantika bukannya  seni dan sastra. Mari bahu membahu memandang Dayeuhluhur lebih visioner  yang logis dan realistis.
Kurang berkembangnya pembangunan di wilayah Simajaluhur kemungkinan besar karena :
a.    Terlalu luasnya wilayah Kab.Cilacap ( 5x Kab.Kudus)
b.    Lemahnya manajemen Pemerintah Daerah akibat keterbatasan sumberdaya
c.    Komposisi PAD per wilayah tentu dimonopoli oleh wilayah kantong-kantong industri yang ada di kota Cilacap dan sekitarnya, investor tidak tertarik mengembangkan usaha ke wilayah barat
d.    Pembangunan sarana prasarana utamanya jalan sama tidak meratanya dengan komposisi PAD, sehingga kesenjangan  antar wilayah semakin melebar

Tidak ada komentar: