KONTROVERSI
SEJARAH AKHIR DAYEUHLUHUR
(Sebuah
Catatan Permenungan)
Akhir dari sejarah Kabupaten Dayeuhluhur yang dibubarkan oleh Kolonial
Belanda per Oktober 1831, dari beberapa catatan dan sumber mengalami
kontroversi, ada 2 ceritera yang berbeda.
1. Versi pertama, keterlibatan perang Diponegoro
Pada versi ini diperkirakan bahwa Tumenggung
Prawiranegara mendukung P.Diponegoro dimana saat-saat terakhir terjadi
pertemuan 3 tokoh di tepi sungai Cibaganjing leuwi genteng utara dusun Kaduomas
antara P.Diponegoro, Sentot Ali Basyah dan Tumenggung Prawiranegara. Petilasan
ini dikenal masyarakat sebagai petilasan makam “Ki Abad” metaphase dari “Kyai Abbas” alias
Sentot Ali Basyah, yang akhirnya baik Sentot Ali Basyah maupun Tumenggung
Prawiranegara dibuang ke Padang.
Atas versi ini belum ditemukan catatan maupun tulisan
sebagai bukti kerlibatan Tumenggung Prawiranegara (Wiradika III) pada perang
Diponegoro, belum kami temukan pula bukti fisik makam beliau di Padang
2. Versi kedua, kesalahan perilaku Bupati terakhir
Pembentukan Kabupaten Dayu-Luhur pada
Zaman Penjajahan Belanda sebetulnya merupakan pemekaran yang luar biasa dari
Negeri Dayaluhur lama pada Zaman Jawa. Daerah yang semula hanya seluas 144 bau
(1 bau = 7.000m2), sekarang mekar ke segala penjuru utara, dengan pemerasan
damai dari wilayah Hindia Belanda yang lama, yaitu sebagian Distrik Madura,
Kepatihan Imbanegara, Kabupaten Galuh, Karesidenan Cirebon, dan dari daerah ex
Kerajaan Surakarta lainnya, seperti sebagian Kabupaten Banyumas Kasepuhan dan Kanoman,
Pancang (Jeruklegi) dan Perdikan (Donan). (Mr. van Lawick van Pabst dan Resolusi
tanggal 27 Agustus 1831 no 1).
Disamping itu, para pejabat baru
Kabupaten Dayu-Luhur Afdeling Ajibarang adalah tetap para pejabat ex Negeri
Dayu-Luhur Kerajaan Surakarta, oleh karena itu wajar apabila mereka secara
tidak terduga semula merasa mendapatkan promosi dalam bidang kewenangan dan
pendapatan, karena memang Negeri Dayu-Luhur sudah sejak abad XV berkuasa di
daerah cikal – bakal Kabupaten Cilacap sebelah barat Sungai Serayu.
Menurut
penuturan Mangkoewinata, perubahan status Negeri Dayu-Luhur memang menimbulkan
ekses. Bupati Tumenggung Prawiranegara menjadi peminum alkohol kelas berat.
Bahkan ketika beliau mengunjungi Kawedanan Pegadingan, di rumah Wedana beliau ketagihan
alkohol. Yang menjadi Wedana Pegadingan, Mas Mertadika adalah adik tiri beliau
lain ibu. Di luar kesadarannya, dengan keris terhunus, beliau menganiaya
ibutiri, ibu dari Wedana Pegadingan serta kedua pembantu ibu selir tadi,
sehingga meningalkan luka yang dalam, tetapi tidak meninggal. Kemudian beliau
membakar rumah Wedana, serta menganiaya sampai mati 4 orang lelaki yang hendak
memadamkan kebakaran tadi. Setelah api padam dan beliau sadar kembali, beliau
sangat menyesal dan akan menyerahkan diri pada Bupati Adipati Mertadireja II
dan Asisten residen Mr. D. A. Varkevisser di Ajibarang. Wedana Pegadingan sudah
melaporkan hal ini pada kedua pejabat tersebut, sehingga Tumenggung
Prawiranegara sebelum sampai ke Ajibarang telah bertemu dengan mereka. Bupati
Dayu – Luhur dipecat dari kedudukannya dan kemudian dibuang ke Pulau Banda.
Raden Wirjaatmadja dalam Babad Banyumas secara singkat hanya memberitakan jika
Tumenggung Prawiranegara menderita sakit jiwa dan dibuang ke Padang.
Pada
waktu pengukuhan Onder Regentschap Cilacap, Raden Tumenggung Prawiranegara,
mantan Bupati Dayu-Luhur yang tahun 1831 dibuang ke Pulau Banda, juga masih
hidup di Purwokerto dengan pensiun f 50. Beliau diperbolehkan kembali ke
Banyumas setelah diasingkan selama 3-4 tahun sebab Bupati Purwokerto, Raden
Adipati Mertadireja II bersedia menerima di daerahnya dan sanggup mengawasi
perilakunya. Raden Tumenggung Prawiranegara diperbolehkan berdomisili di
Bantarsoka, Purwokerto, sekarang menjadi Stasiun Kereta Api Purwokerto. Setelah
meninggal beliau dimakamkan di Pesarean Kolekturan Pasir Kulon, sekarang masuk
Kecamatan Karanglewas, sekitar 5 km sebelah barat kota Purwokerto.
Faktualnya setelah kami melakukan penelusuran makam
tumenggung Prawiranegara (Wiradika III) berada di bagian sisi utara barat makam
Pasir Lor karanglewas (foto dan denah terlampir) dan telah dibangun dan dirawat
oleh Bapak Edi mantan Kepala Desa Kalicupak Kalibagor Banyumas (informasi dari
juru kunci) pada nisannya tertulis Tumenggung Prawiranegara Bupati Majenang.
Dengan surat Asisten Residen Ajibarang
pada tanggal 24 Oktober 1831 no 184, Bupati Ajibarang diberi kuasa Kabupaten
Dayu-Luhur. Lowongan jabatan Bupati Dayu-Luhur ditiadakan. Oleh karena itu
Kabupaten Dayu-Luhur yang baru 2 bulan dikukuhkan, merosot statusnya menjadi
Kepatihan (Pattehschap) Dayu-Luhur Kabupaten Ajibarang, yang dipimpin oleh Mas
Kramayuda.
Dari kedua versi
tersebut menurut kami , masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan,
kelemahan versi pertama atas versi kedua
:
a) Versi pertama tidak ada catatan dan bukti yang kuat atas
keterlibatan Wiradika III (Tumenggung Prawiranegara) pada perang Diponegoro
baik catatan dari pelaku sejarah lokal, nasional, internasional. Bahkan dalam
Catatan De Java Oorloog 1825-1830 arsip perang Diponegoro tidak menyebutkan
nama Tumenggung Prawiranegara maupun Wiradika III maupun Bupati Dayeuhluhur
ataupun Bupati Majenang.
b) Versi
kedua memiliki banyak bukti catatan-catatan meskipun ada 2 (dua) catatan, yang
satu menyebutkan Tumenggung Prawiranegara mengalami gangguan jiwa dan dibuang
ke Padang (catatan yang cukup menyedihkan, namun tanpa bukti. Catatan kedua
menyebutkan dibuang ke Banda selama 4 tahun dan kembali dibawah pengampuan
Bupati Banyumas dan tetap mendapat hak pension sampai meninggalnya di
Purwokerto. Kami menemukan bukti fisik makamnya di Pesareyan Pasir Lor. Namun
yang menjadi “pertanyaan kritis” apakah tindakan “criminal” seorang kepala
daerah dapat menjadikan daerah tersebut dibubarkan oleh seorang asisten
residen??? Jika kita diperkenankan berlogika agak “nakal” menggunakan
percaturan politik saat ini, bisa jadi Tumenggung Prawiranegara memang terlibat
Perang Diponegoro kemudian bukti-buktinya dihilangkan dan dilakukan
“kriminalisasi” sebagai alas an untuk membuangnya ke Banda selama 4 tahun namun
tetap mendapat tunjangan pension. Hal yang sama diberlakukan kepada Pangeran
Diponegoro yang memang tidak “dibunuh” tapi diasingkan ke Makasar juga dengan
hak gaji dari Pemerintah Belanda.
3.
Percikan
Permenungan
Secara historis memang pembentukan Kabupaten Cilacap
(Regentschap Cilacap) dibuat dan
dilahirkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda (warisan penjajah), untuk
kepentingan Belanda mempercepat dan mempermudah transportasi pengerukan hasil
bumi Jawa bagian selatan khususnya
wilayah Banyumas serta unuk benteng pertahanan yang strategis. Kabupaen Dayeuhluhur
merupakan warisan asli dari para leluhur pribumi sejak jaman Pasirluhur,Mataram
dan Surakarta namun dihapus dengan mudahnya oleh kolonial Belanda. Sehingga
seremonial peringatan hari jadi Kab.Cilacap 21 Maret 1856 tentunya mengiris
rasa nasionalisme anak bangsa, namun itulh kenyataan sejarah.
Pembubaran Dayeuhluhur disamping politis
seperti “perkiraan” di atas, menurut kami juga karena pertimbangan ekonomi kaum
imperalis, Dayeuhluhur dengan ibukota Majenang saat itu adalah daerah yang
tertinggal dibandingkan 3 (tiga) Kabupaten lain yang se karesidenan, baik
pertumbuhan penduduk maupun hasil buminya, sementara Belanda memerlukan
percepatan sarana transportasi dalam menguras hasil bumi di karesidenan Banyumas
menuju ke negerinya, tentu pelabuhan alam “Cilacap” di Donan sangat
menggiurkan. Meskipun daerah itu merupakan rawa-rawa dan banyak epidemic
malaria, Belanda tetap berambisi membangun kota pelabuhan dan membangun terusan
kanal “kali yasa” untuk memperlancar transportasi sungai serayu ke pelabuhan
sebagai alat menguras hasil bumi secara cepat dan murah serta membangun benteng
pertahanan tepi laut yang strategis baik di Nusakambangan maupun di teluk penyu
dengan system “Benteng Pendem” nya. Ini adalah suatu pemikiran Belanda yang
“modern” bila dibandingkan oleh pemikiran para leluhur kita yang merupakan
raja-raja “agraris” yang membangun kota maupun kraton di pegunungan, karena di
gunung tempatnya lebih tinggi lebih dekat dengan para “Dewa” dan dapat memandang
wilayah rendah seolah-olah rakyat seluruhnya ada di bawah kaki kekuasaannya.
Kalu kita mau jujur atas kondisi di Dayeuhluhur dan
seluruh eks Kawedanan Majenang dan Sidareja, dari dulu sampai sekarang tidak
mengalami perkembangan kemajuan yang berarti dibandingkan daerah lain di
sekitarnya. Dari aspek historis kejayaan penguasanya, Dayeuhlluhur semula
merupakan bagian barat dari Pasirluhur, kemudian diberi otonomi menjadi
kadipaten Dayeuhluhur di bawah Arya Gagak Ngampar I s/d Gagak Ngampar III tetapi
masih underbow Pasirluhur. Saat Pasirluhur dibawah kekusaan Demak Bintoro,
demikian pula Dayeuhluhur pun menjadi bawahan Demak Bintoro. Saat Demak
melemah, Pasirluhur di bawah Pajang sementara Dayeuhluhur dijajah Galuh Kawali
dan Kadipaten Dayeuhluhur ini dihapus statusnya. Pada saat Galuh dikalahkan
Mataram, maka Dayeuhluhur dihidupkan kembali oleh Panembahan Senopati menjadi
daerah bawahan Mataram, kemudian menjadi bawahan Kartasura bahkan Bupatinya
kemudian dipilih dari keturunan Kartasura. Saat Surakarta dibawah cengkaraman
Belanda maka Dayeuhluhurlah yang dilepas jadi jajahan Belanda dan akhirnya
Belanda menghapuskan Dayeuhluhur dengan berbagai pertimbangan politis dan
ekonomis.
Kondisi “factual” sejarah atau kisah ini sejalan dengan
anekdot para leluhur daerah Dayeuhluhur “
hayu nyalindung kanu mawa payung” artinya segeralah menyesuaikan diri
dengan penguasa yang memegang kekuasaan. Hal ini bukan berarti para leluhur
kita tidak memiliki “daya juang” dan “keperwiraan”, mereka dikenal sebagai
“prajurit tangguh” yang memiliki “daya linuwih” baik sebagai panglima Demak,
maupun Mataram bahkan berhasil mengobtrak-abrik Ciancang jadi banjir darah.
Kondisi ini atas dasar pemikiran dan analisa yang “relevan” dikarenakan
“lemahnya” potensi daerah yang dapat menopang kemakmuran dan pembangunan
rakyatnya. Daerah selatan adalah kantong-kantong Banjir tahunan, daerah utara
bertanah labil dan mudah longsor, pertanian menjadi tidak menggembirakan,
bahkan hasil tambang juga belum ditemukan sampai sekarang. Atas kepiawaian
penjajah Belanda dengan kultur stelsel baru cocok untuk perkebunan karet, kopi,
cengkeh dan cacao, pinus merkusi, namun celakanya lahan-lahan subur untuk
perkebunan tersebut sudah dikooptasi VOC yang akhirnya saat ini menjadi milik
Negara dan BUMN.
Rakyat menyesuaikan diri, mereka dengan segala potensinya
ada yang bertahan di bidang agraris, ada yang beralih menjadi tenaga kerja
sector non agraris melalui jalur pendidikan akademik ataupun ketrampilan dan
bekerja di daerah atau di daerah lain atau menjadi urban di kota besar bahkan
menjadi TKI di luar negeri. Tingkat kesuburan “negeri Dayeuhluhur” jauh lebih
baik dibandingkan Wonogiri ataupun Gunungkidul, hanya semangat membangun daerah
asal tidak sehebat 2 (dua) daerah tadi yang nilai “remitten”nya sangat tinggi.
Ilusi sebagian “tokoh” untuk membentuk “otonomi baru”
entah apa namanya Cilacap Barat ataupun “Simajaluhur = Sidareja Majenang
Dayeuhluhur) kiranya perlu mempertimbangkan kembali aspek historis dan potensi
ekonomi mas lalu maupun kekinian, apakah sector non agraris mampu berkembang?
Apakah Agrobisnis menunjukan suasana cerah? Untuk sector pertambangan dan migas
nampaknya sangat sulit diprediksikan di wilayah ini meskipun pernah ada
“paranormal” yang meramalkan daerah Cilopadang memiliki kandungan minyak bumi
yang tinggi melebihi Arab Saudi, namun Bupati Cilacap Heri Tabri Karta pernah
meminta survey kepada ITB dan Petronas dengan hasil yang tidak menggembirakan
pula. Jangan sampai semangat “otonomi” hanya menjadi kedok para “tokoh” untuk
menjadi penguasa baru yang perlente namun menengadahkan tanganya lebar-lebar
meminta bantuan kepada pemerintah provinsi dan pusat untuk memperkaya diri
semata.
Jika kita mencintai daerah, masyarakat dan leluhur, ide
Cilacap Barat sebaiknya bukan pada aspek politis, tetapi menjadikan wilayah
“ekonomi pertumbuhan baru” Simajaluhur
dengan mempererat tali perikatan bisnis antar daerah yang saling komplementer
dan bersimbiosis mutualistis dengan memperhatikan Local Qoution dan memanfaatkan
kemajuan teknologi industry dan telekomunikasi. Semangat untuk menjadi
“priyayi” sudah waktunya diubah menjadi bersemangat menjadi “enterpreuner”
dengan mengembangkan daya kreatifitas local yang mampu menembus pasar global.
Pada prinsipnya “Masyarakat sejahtera” jauh lebih penting
dari segelintir orang yang haus menjadi “Penguasa”. Apalah artinya menjadi
penguasa di tengah masyarakat yang jauh dari sejahtera, yang hanya mampu
menjual bahan baku bukan barang jadi, yang sering tercekik hutang piutang dan
gadai menggadai bukan berinvenstasi, yang saat ini mulai terjangkit narkoba dan
mirasantika bukannya seni dan sastra.
Mari bahu membahu memandang Dayeuhluhur lebih visioner yang logis dan realistis.
Kurang berkembangnya pembangunan di wilayah Simajaluhur
kemungkinan besar karena :
a. Terlalu luasnya wilayah Kab.Cilacap ( 5x Kab.Kudus)
b. Lemahnya manajemen Pemerintah Daerah akibat keterbatasan
sumberdaya
c. Komposisi PAD per wilayah tentu dimonopoli oleh wilayah
kantong-kantong industri yang ada di kota Cilacap dan sekitarnya, investor
tidak tertarik mengembangkan usaha ke wilayah barat
d. Pembangunan sarana prasarana utamanya jalan sama tidak
meratanya dengan komposisi PAD, sehingga kesenjangan antar wilayah semakin melebar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar