Sabtu, 24 Agustus 2013

SEJARAH DAYEUHLUHUR, sebuah Pertanyaan Besar ???


KOMPLEKSITAS SEJARAH
(Sebuah Pengantar Pendahuluan)


Sejarah pada dasarnya milik kita bersama baik secara individual maupun secara komunal. Secara individual kita akan memiliki serangkaian sejarah selama perjalanan hidupnya , ada yang rajin mengingatnya melalui catatan harian namun lebih banyak hanya sekilas mengingat dalam angan dan obrolan, atau bahkan membiarkannya berlalu begitu saja, terlepas apakah selama perjalanan hidupnya selalu beruntung atau selalu kurang beruntung atau bervariasi di antara keduanya. Secara komunal sejarah dipelajari di tataran sekolah sebagai salah satu mata pelajaran ilmu sosilal, baik sejarah dunia, sejarah benua, atau sejarah nasional.
Belum ada muatan lokal yang menampilkan mata pelajaran sejarah masing-masing daerah. Semisal sejarah Cilacap untuk anak-anak sekolah di se antero wilayah Kab.Cilacap. Sejarah lokal ini hanya dianggap perlu bagi Pemerintah Daerah dalam rangka menentukan hari jadi pemerintahan di wilayah itu guna diperingati secara seremonial belaka.
Kepedulian kita akan sejarah lokal sangatlah minim bahkan nyaris tidak terdengar gaungnya, masih beruntung bahwa beberapa leluhur mbah buyut dan orang-orang kasepuhan masih memiliki ingatan-ingatan akan sejarah daerahnya yang berkaitan dengan silsilah leluhurnya, itupun sudah mulai langka saat ini.  Sungguh ironis memang, musium-musium yang menyimpan catatan dan benda-benda warisan sejarah saat ini sepi pengunjung dan koleksinyapun sangat terbatas, bahkan ada keyakinan bahwa seluruh naskah catatan dan benda bersejarah kita ikut diangkut ke negeri yang pernah menjajah kita, baik itu Inggris maupun Belanda. Akankah kita belajar sejarah Dayeuhluhur dan Majenang ke negeri Belanda???
Perhatian kita sebagai individu terhadap sejarah dapat dikatakan sangat memprihatinkan sepadan dengan keprihatinan kita akan minimnya kepedulian Pemerintah terlebih Pemerintah Daerah terhadap pelestarian sejarah daerahnya masing-masing. Bila diibaratkan sebagai kebutuhan hidup yang diskalaprioritaskan maka sejarah akan menempati urutan yang sangat akhir. Prioritas utama pada kebutuhan akan pangan,sandang,papan. Prioritas kedua pada kesehatan dan pendidikan. Prioritas ketiga pada informasi-komunikasi, transportasi, rekreasi. Prioritas ke empat pada seni budaya dan nilai kebanggaan akan sejarahnya.
Kertarikan kita akan sejarah tidaklah sehebat semangat kita menggeluti pengetahuan teknologi informasi dan ilmu ekonomi, ibarat barang ia menjadi sesuatu yang terpinggirkan bahkan oleh personil-personil yang berlatar belakang sarjana ilmu sejarah sekalipun. Dari beberapa orang yang rela berkorban menggeluti sejarah lokal khusunya, mereka mulai terjun rata-rata di atas usia 40 tahun karena ada “kegalauan” semata atau karena adanya wasiat dari leluhurnya.
Pada awalnya saat masih anak-anak, kami sering mendengar ceritera dari sang ayah yang sangat “bangga” akan sejarah lokal daerah dan leluhurnya, meskipun saat itu kami menanggapinya dengan terkantuk-kantuk dan bergumam “ wah cuma ceritera semu orang-orang dulu yang tidak berdampak apa-apa pada kesulitan hidup di masa kini, semacam mimpi yang tak terbeli, kita sebagai anak turunnya mungkin diminta agar tidak rendah diri, dengarkan saja sebagai rasa hormat sama orangtua, titik” hingga akhirnya setelah beliau meninggal, baru kami merasa perlu mengorek kembali catatan-catan beliau, terlambat memang, namun cukup menarik karena sudah tidak dipengaruhi subyektifitas narasumber.
Menyusun Silsilah dan sejarah singkat Dayeuhluhur yang menyertainya tidaklah mudah, karena terbatasnya data maupun validitas sumber data yang diperoleh. Adanya dongeng tutur tinular kasepuhan dengan berbagai versi, adanya babad yang terbatas di museum, kesulitan meneliti naskah-naskah dalam bahasa asing, huruf jawa kuno dan arab pegon menjadi kendala utama. Bukti dan fakta adanya situs sareyan dan beberapa peninggalan silsilah dari kasepuhan serta informasi via blog blog di internet dan Wikipedia memberi siraman darah semangat untuk menelusuri “penelitian” sederhana ini. Banyak narasumber dan naskah yang saling bertabrakan satu sama lain dan keterbatasan daya ingat para kasepuhan membuat data menjadi tidak lengkap dan sulit dicarikan perkiraan waktu.
Dalam kejengahan selama awal 2012, ada sedikit titik terang dimana penyusun dapat berinteraksi dengan pengarsip sejarah yang sangat sulit ditemui namun sangat kaya informasi, beliau adalah Ibu Karsiyah,SPt dan Bapak dr.Soedarmadji. Beliau berdua memiliki beralmari arsip yang sangat berharga. Pengalaman dr.Soedarmadji sangat mumpuni dan member  nasihat bahwa penulisan sejarah tradisionil sangatlah diperlukan meskipun validitasnya disangsikan, sudah ada yang mau nulis sudah bagus dan kita wajib berterimakasih, hanya saja kita memang harus mampu melakukan analisa-analisa guna memperkecil rendahnya validitas data, dengan tanpa mencela penulis sebelumnya, karena sangat sulit dicari sejarah yang ditulis secara “jujur”, selalu saja dipengaruhi “kepentingan”, bahkan dibuat sejarah tertentu (bahkan situs “aspal”) untuk kepentingan penguasa saat itu.  
Dongeng dan  babad umumnya merupakan tulisan atas tutur atau sebaliknya dongeng menjadi tulisan yang dituturkan karena keterbatasn “melek aksara” sebelum abad XIX, akibatnya tutur banyak variasinya tergantung dalam menyebarluaskannya yang dipengaruhi oleh daya ucap (lidah,dialek) daya tangkap (telinga) , daya ingat dan selera  antar generasi turun temurun yang bervariasi pula. Contoh kisah santri “Undig” yang artinya cerdas, karena dialek dan pendengaran  berubah menjadi Santri “Gudig” yang berkonotasi berpenyakit kudis (sakit kulit yang menjijikan).Naskah ceritera Dipati Ukur  konon ada 8 versi, dan masing-masing daerah menonjolkan kedaerahannya dan ketokohan priyayi setempat, karena rajin dan tekun meneliti 8 naskah ini maka Ekadjati berhasil menjadi Guru Besar di Universitas Indonesia.
 Kekhilafan tidak hanya terjadi pada naskah tradisionil tapi juga pada naskah asing, contonya para sarjana Belanda menganggap binear anakan “danau anakan” padahal sesungguhnya adalah “segara anakan” berupa laut bukan danau, peta yang “tidak pas” itu dipakai beratus-ratus tahun. Penulis asing akan sangat kalut atas persamaan nama daerah dan nama orang sehingga sering salah memberikan interprestasi.
Keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan data sempat membuat kami “galau” untuk melanjutkan penelusuran ini, hanya karena semangat kedaerahan dan keturunan saja kami berupaya keras selama tahun 2012 ini menyusunnya.
Menurut hemat kami sejarah Dayeuhluhur yang sangat terbatas ini tidak mungkin berdiri sendiri, selalu dan pasti berinteraksi dengan sejarah daerah sekitarnya atau daerah yang lebih luas dan terkenal, dasar pemikiran ini yang menjembatani kami ingin menyusun lebih rasional dan integrative. Namun konsekuensinya harus menggali data lebih banyak lagi.
Sejarah dayeuhluhur tidak akan lepas dari sejarah Sunda di wilayah baratnya (Salakanegara-Tarumanegara-Sunda-Galuh-Pajajaran) maupun Sejarah Cirebon di sisi utaranya, dan sejarah Banyumas di sisi Timur yang akan menyeret sampai ke sejarah Mataram Hindu, Majapahit, Demak,Pajang,Mataram Islam. Data-data dari kesemuanya dapat menjadi petunjuk apa dan bagaimana yang terjadi di Dayeuhluhur.  Tentunya melelahkan ibarat mengumpulkan 4-5 mobil bekas untuk hanya diambil mur dan baut yang berkesesuaian  dari mobil-mobil yang berbeda, dimana mur dan baut itu pada mobil yang besangkutan bukanlah sesuatu yang pokok.
Silsilah dan sejarah singkat Salakanegara-Sunda-Galuh-Pajaran memiliki data lengkap dengan angka tahunnya dan kejadian yang mengiringinya, demikian juga dengan kerajaan lain di utara maupun di timur. Hal ini dapat menjadi jembatan untuk meriset sejarah dayeuhluhur yang banyak disusun atau diceriterakan para sesepuh yang cukup membingungkan karena tanpa adanya keruntutan periode dan hanya berdasarkan dongeng tutur tinular. Kisah ceritera sesepuh bukan berarti salah, justru menjadi bahan awal “data primer” yang sangat berharga, sudah beruntung kita mendapat data awal dari para sesepuh yang terbatas kemampuan akademiknya daripada kita terlalu sarat gelar akademik namun tak memahami sama sekali sejarah tanah kelahiran dan leluhurnya.
Membaca dan meneliti naskah lama perlu pemahaman tersendiri, semisal untuk memahami gelar-gelar “priyayi” seperti Ngabehi, Tumenggung, Adipati, Mas, Mas ayu, Mas ajeng memiliki “arti, fungsi dan derajat” semacam kepangkatan jaman sekarang di PNS ada juru, pengatur, penata, pembina, esselon I-IV (dirjend, deputi,Kabiro,Kabag,kasi). Demikian pula untuk kewilayahan dan otonomi wilayah, ada negaragung, Bumi,Siti,mancanegara,perdikan. Pada Jaman Belanda berbeda lagi, ada Gubernur, Residen, Regent, Onderregent, Pathen,  afdeling,distrik. Cukup membingungkan pula adanya kesamaan nama dan gelar, kesamaan nama tempat (seperti Ayah kebumen dan Ayah kesugihan, Dayeuhluhur Panjalau dan Dayeuhluhur Cilacap, Madura Jatim dan Madura wanareja yang terkenal sejak 1705)
Ketersesatan penelusuran akan terjadi jika kita memahami kewilayahan saat ini dipersamakan dengan masa lalu, memahami status tokoh hanya dari nama, sangat berbeda, jalan raya belum ada, hutan belantara sangat luas, tapal batas biasanya alamiah berupa sungai yang masih ada sampai sekarang. Batas wilayah dan batas etnografi sering berbeda meskipun pernah sama (contoh distrik Madura pernah masuk dalam Kab.Imbanegara Ciamis, berubah kemudian masuk Cilacap dengan batas sungai cijolang).Pemahaman bahwa Dayeuhluhur adalah “Kerajaan” akan melemah saat membaca buku ini, pemahaman bahwa Dayeuhluhur “otonomi sunda” juga akan mengalami perubahan, ia menjadi “batas” persimpangan sunda-jawa, ia menjadi “ajang” pergantian kekuasaan Sunda-Jawa. Yang menarik kami temukan di sini adalah kenyataan perpindahan “ibukota” dan “dualisme” penguasa Dayeuhluhur dan Majenang. Hal ini sedikit memberi pencerahan mengapa etnis Sunda dan Jawa sepanjang wilayah Cilacap Barat bagaikan mozaik puzle, Kecamatan Dayeuhluhhur sunda, Kec.Wanareja sunda-Jawa, Kec.Sidareja Sunda-jawa, Majenang sunda-Jawa, Cimanggu dan Karangpucung juga sunda-jawa meski lebih ke timur daerahnya, sebaliknya Pangandaran dan Langen Jawa Barat pun sunda-jawa bahkan lebih banyak jawa nya (keturunan Prembun Kebumen). Dengan demikian untuk saat ini sangat tepat jika Dayeuhluhur itu merupakan “Parahiangan di Tanah Jawa”.
Ketersesatan pun akan kita alami jika tidak mampu memilah antara sejarah dan dongeng legenda, contoh legenda candi sewu prambanan, dengan kesaktiannya Bandung Bandawasa putra mahkota kerajaan Pengging yang telah membunuh Prabu Baka memenuhi permintaan Rara Jonggrang yang tidak mau jadi permaisuri putri boyongan kalah perang, untuk membuat seribu candi dalam waktu satu malam, karena roro jonggrang mengerahkan semua perempuan untuk menumbuk padi dan membakar jerami maka ayam berkokok tanda pagi, padahal masih tengah malam, balabantuan jim Bandung Bandawasa pergi sedangkan candi yang selesai 999, kurang 1 maka rorojonggrang disabda menjadi candi yang ke 1000. Bukti arkeologi dan catatan sejarah menyebutkan bahwa candi sewu di sisi utara kompleks candi Prambanan itu merupakan candi agama Budha dibangun Raja Mataram Wangsa Syailendra jaman raja Indra tahun 782-812 dalam waktu bertahun-tahun. Sedangkan Candi Prambanan adalah candi Hindu yang dibangun lebih lama lagi sejak jaman raja Mataram Wangsa Sanjaya dengan raja Rakai Pikatan mulai dibangun tahun 850 dan baru selesai disempurnakan oleh raja Dyah Tulodong tahun 920. Dinasti Kerajaan Mataram Kuno memang ada 2 dinasti, Wangsa Sanjaya (Hindu) dan Wangsa Syailendra (Buddha), rekonsiliasi 2 wangsa ini diakhiri dengan toleransi yang sangat kuat setelah Rakai Pikatan menikahi Pramodawardhani. Dongeng legenda jaman dulu menjadi alat propaganda yang efektif bagi rakyat, dogeng rorojonggrang ini mengaburkan perbedaan agama antara Budha candi sewu dengan Hindu Candi Jonggrang di kompleks candi Prambanan. Saat ini masyarakat awam mungkin banyak yang belum memahaminya, Candi Jonggrang lebih dikenal dengan Candi Prambanan menjulang tinggi dan dikelola oleh PT.TWC sedangkan sisi utaranya dalam satu kompleks adalah candi sewu yang pendek-pendek jumlahnya banyak dan dikelola BP.3 (Kantor Kepurbakalan).
Sumber penulisan berasal dari berbagai naskah baik buku, copy naskah, file-file dari blog-blog internet utamanya wikipedia dari berbagai sumber primer maupun sekunder, kesemuanya kami cntumkan dalam daftar  pustaka. Karena keterbatasan waktu kami tidak mecantumkan catatan kaki sumber-sumber kalimat ataupun paragraf, kesemua isi buku ini kami himpun dari isi naskah,buku, file sebagaimana terdapat dalam daftar pustaka. Kami hanya merangkai sesuai kebutuhan akan materi sejaran dan silsilah Dayeuhluhur ini. Hasil karya ini bukan milik kami pribadi tapi milik bersama tanpa ada kepemilikan intelektual atau apapun sehingga tidak ada niat melakukan “plagiatisme”, mekipun buku ini susunan menurut versi kami dalam arti versi kami dalam melakukan kompilasi dan pemilihan data-data serta menyusun ulang berdasarkan penalaran kami yang sangat terbatas dan tidak memiliki latar belakang ilmu sejarah, diantara sumber-sumber itu adalah :

1.      "sejarah pajajaran" , adipati Manonjaya (sek,tasikmalaya) : adipati R.Tumenggung Wiradadaha VIII (dalem sepuh)
2.      Catatan pensiunan Mantri Guru Majenang : Raden Sastrasukarya
3.      Buku "sedjarah Tjakrawedana, RM.Mangkoewinata, pensiunan Penilik Jawatan Kesehatan  ing Sumatera Kidul (SUMSEL)
4.      Naskah bhs.prancis: LOUIS CHARLES DAMAIS, L'EPIGRAPHE MUSULMANE DANS LE SUD EAST ASIATIQUE HAL.589 (ISLAMISASI ASIA TENGGARA)
5.      Ulasan Wikipedia
6.      “Sejarah Cilacap” pada Blog Ibu Karsiyah
7.      Naskah Dipati Ukur, Edi S.Ekadjati
8.      Babad Salakanegara, Edi S.Ekadjati
9.      Babad Pasir luhur dan Dayeuhluhur, Sugeng Priadi
10.  Hari Jadi  Kab.Cilacap, alternatif dari alternatif, dr.Soedarmadji
11.  Dan lain-lain
Atas dasar penelusuran yang “komprehensif” dan upaya memilah dongeng dan sejarah maka kami memberanikan diri menyusun Silsilah dan Ceritera Sejarah Dayeuhluhur menurut versi kami, yang mungkin berbeda, mirip atau bertentangan dengan versi lain. Tidak terbersit sedikitpun maksud untuk menjadi yang paling benar, semua hanya untuk menambah khasanah dan wawasan semata, Makna kata Ceritera sejarah kami asumsikan sebagai ceritera yang sudah bukan lagi dongeng namun belum dapat dianggap sebagai bukti sejarah yang autentik karena keterbatasan data fakta investigatif maupun arkeologis,  semoga bermanfaat
Atas tersusunnya tulisan dalam buku ini kami haturkan penghargaan sebesar-besarnya kepada Bapak dr.Soedarmadji kasepuhan yayasan Dawuhan Purwokerto, Ibu Karsiyah Purwokerto, Kang Dadang Hermawan Dayeuhluhur dan seluruh saudara dan leluhur di Dayeuhluhur. Bagai gading yang selalu retak, Buku ini adalah langkah kecil dari awal langkah yang lebih besar yang bisa diwujudkan anak cucu kelak di kemudian hari.
Yogyakarta, 16 Desember 2012
                                                                                    Penyusun

                                                                        Alimin Suprayitno,SH,Msi



Tidak ada komentar: